Kinerja Manufaktur Mengendur, Ekonom: Jangan Fokus Hilirisasi Tambang Saja

Laju pertumbuhan industri pengolahan nonmigas atau manufaktur mengendur pada 2023. Kondisi ini tak sejalan dengan kebijakan hilirisasi mineral yang digenjot pemerintah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan manufaktur tumbuh 4,69% (year-on-year) pada 2023. Pertumbuhan ini melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 5,01%. Dari sisi kontribusi industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2023 tercatat sebesar 18,67% atau naik dari tahun 2022 sebesar 18,34%. Meski naik, kontribusi manufaktur masih lebih rendah dibandingkan sedekade terakhir.

Executive Director Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan untuk memperkuat posisi manufaktur sebagai motor penggerak ekonomi nasional, maka hilirisasi perlu diperluas ke berbagai subsektor, tak hanya tambang mineral saja. Di satu sisi, Faisal melihat terdapat sinyal pertumbuhan positif sejak tahun 2020 ketika hilirisasi di sektor-sektor terkait pertambangan mulai berjalan, salah satunya nikel. Masifnya pembangunan smelter nikel mendongkrak pertumbuhan PDB nasional, investasi, hingga ekspor produk turunan nikel. Oleh karena itu, hilirisasi di sektor lain pun perlu dikembangkan, terutama pada sektor yang nilai tambahnya tinggi. “Yang kita harapkan adalah hilirisasi sektor yang high value added, sehingga dorongan kontribusi manufaktur terhadap PDB juga jadi lebih besar, kita harapkan jelas di atas 20%,” jelasnya.

Di sisi lain, Plh Ketua Umum Kamar Dagang dan Indusri (Kadin) Indonesia, Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan tantangan ekonomi dan kondisi global menjadi pengaruh besar terhadap lambatnya pertumbuhan dan kontribusi manufaktur. Yukki menuturkan, ketidakpastian situasi geopolitik di berbagai belahan dunia yang mendorong kenaikan harga komoditas mentah sehingga menjadikan orientasi industri fokus pada sumber daya alam (SDA). Secara domestik, Kadin melihat faktor pembiayaan bagi industri manufaktur berorientasi ekspor oleh pemerintah masih dipengaruhi level suku bunga BI yang cukup tinggi, sehingga menyebabkan kredit menjadi mahal. Terlebih, ada tantangan produktivitas tenaga kerja Indonesia yang belum kompetitif, bahkan dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, masih menjadi salah satu hambatan yang menahan laju industri pengolahan.

Search