Nilai tukar rupiah kembali melemah pada penutupan perdagangan Senin (13/2) ke posisi 15.205 per dollar Amerika Serikat (AS), terdepresiasi 71 poin atau 0,47 persen dari perdagangan sebelumnya di level 15.134 per dollar AS. Pelemahan itu karena kekhawatiran pelaku pasar terhadap potensi kebijakan moneter Bank Sentral AS, Federal Reserve (the Fed) yang lebih ketat. Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra mengatakan, sejak data Non Farm Payroll AS Januari dirilis pada pekan pertama Februari lalu, hasilnya lebih dari dua kali ekspektasi pasar. “Hal itu membuat pelaku pasar kembali mewaspadai kalau-kalau kebijakan moneter AS akan kembali lebih ketat,” kata Ariston.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan pada Jumat (3/2) bahwa data ketenagakerjaan nonpertanian (Non Farm Payroll) meningkat 517.000 pada Januari, jauh lebih baik dari yang diharapkan 187.000. Ariston menuturkan membaiknya situasi ketenagakerjaan AS berpotensi meningkatkan konsumsi dan berujung pada kenaikan inflasi. Padahal, inflasi AS masih jauh dari target dua persen. Inflasi tinggi tersebut yang berusaha diturunkan oleh the Fed dengan cara mengetatkan kebijakan moneternya. Kebijakan moneter AS yang lebih ketat biasanya memicu penguatan dollar AS terhadap nilai tukar lainnya.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan pelemahan kurs rupiah masih perlu diwaspadai karena ketidakpastian kebijakan moneter AS masih tinggi. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sebaiknya mempercepat implementasi aturan terkait devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) sehingga menambah likuiditas valas. Selain itu, perlu meningkatkan ekspor produk jadi yang bernilai tambah untuk memperkuat struktur ekspor dan pada akhirnya meningkatkan ketahanan kurs rupiah. “Pemerintah juga perlu mengerem impor terutama impor bahan baku dan barang jadi yang berisiko terhadap stabilitas kurs,” kata Bhima.