Pelaku Usaha Ketar-ketir Starlink Lakukan Predatory Pricing

Pelaku industri telekomunikasi di Indonesia tak mau terlena dengan gap tarif layanan Starlink yang saat ini lebih tinggi dari penyedia jasa internet lokal. Kendati ancaman bisnisnya relatif kecil, tetapi potensi predatory pricing-nya tidak bisa dihiraukan. Kekhawatiran tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Marwan O. Baasir ketika mengunjungi kantor Bisnis Indonesia di Jakarta baru-baru ini. Berdasarkan paparan ATSI, Starlink saat ini menawarkan 3 jenis tarif langganan, yakni, layanan dengan tarif Rp750.000/bulan untuk residensial, Rp990.000/bulan untuk jelajah regional, serta Rp4,3/bulan juta untuk servis jelajah global. Tarif tersebut lebih mahal dari fixed broadband dengan tarif langganan berkisar di angka Rp300.000/bulan untuk kecepatan 50 Mbps, serta mobile seluler yang jauh lebih murah senilai Rp7.000/GB.

Dari sisi biaya perangkat, pelanggan wajib merogoh kocek senilai Rp7,8 juta untuk mendapatkan layanan Starlink. Di sisi lain, fixed broadband tidak mengenakan biaya perangkat, sedangkan mobile seluler menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Jika tidak ada pengawasan, Starlink berpotensi melakukan predatory pricing sehingga bisa mengancam bisnis operator telekomunikasi eksisting. Baik seluler, operator fixed broadand, jaringan VSAT, operator satelit geostationer (GSO), internet service provider (ISP), dan penyelenggara menara.

Sebagai rencana mitigasi, asosiasi bersama-sama dengan para pemain di industri telekomunikasi menyiapkan sejumlah usulan ketentuan. Pertama, Starlink diwajibkan untuk kolaborasi business to business (B2B) dengan pemain lokal. Seperti yang sudah dilakukan di Inggris, India, dan Australia. Kedua, lisensi Starlink Nasional sebaiknya dibatasi pada layanan B2B saja, sedangkan layanan business to consumer (B2C) dapat dilokalisasi hanya untuk wilayah nonekonomi di pedesaan dan terpencil. Ketiga, layanan direct to cell milik Starlink harus bekerjasama dengan operator seluler sebagai pemilik frekuensi. Keempat, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu memantau dampak bisnis Starlink untuk menghindari predatory harga serta kompetisi yang tidak sehat. Kelima, Kemenkominfo perlu memastikan Starlink telah memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari biaya hak penggunaan (BHP) Frekuensi, BHP telekomunikasi, BHP universal service obligation (USO), network operation center (NOC), hingga Gateway. Menurut Marwan, hal-hal tersebut perlu dipastikan lantaran saat ini Starlink membayar BHP frekuensi lebih murah dibandingkan dengan penyedia jasa internet eksisting di Tanah Air.

Search