Ketergantungan Asia Tenggara terhadap bahan bakar fosil untuk memenuhi permintaan energi memicu kerentanan kawasan tersebut khususnya saat krisis seperti sekarang ini. Sejumlah upaya perlu dilakukan oleh negara-negara di kawasan ini untuk menjaga ketahanan energinya. Hal tersebut terungkap dalam laporan Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) yang bertajuk Southeast Asia Energy Outlook 2022 yang dirilis pada pertengahan Mei tahun ini.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol mengungkapkan Asia Tenggara adalah energi global kelas berat yang baru muncul. Dia menilai kecepatan perkembangan ekonominya membuatnya semakin penting bagi pemerintah kawasan untuk mempercepat upaya transisi ke energi berkelanjutan. IEA menilai pengaturan kebijakan saat ini akan mendorong permintaan energi di kawasan ini akan tumbuh sekitar 3% per tahun hingga 2030. Dari jumlah tersebut, 75% peningkatan permintaan itu akan dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Akibatnya, emisi CO2 Asia Tenggara akan tumbuh 35% dari tingkat tahun 2020. Dan tanpa tindakan kebijakan yang lebih kuat, tagihan impor minyak bersihnya, yang mencapai US$50 miliar pada 2020, akan berlipat ganda dengan cepat jika harga komoditas yang tinggi saat ini bertahan, tulis laporan itu.