Keragaman Pangan Lokal, Masuk Akal atau Delusional?

Sebelum pemerintah mendengungkan makanan pokok pengganti beras (yang juga tidak disambut baik masyarakat) jargon 4 pilar gizi seimbang sudah lama ada, yang menjadi dasar konsep gizi seimbang sejak ditetapkan oleh Permenkes no.41/2014 sebagai pengganti 4 sehat 5 sempurna. Bisa ditandai, saat cadangan beras mulai menipis dan risiko impor beras muncul, pasti anjuran pengganti pangan pokok ini muncul. Bahkan belakangan ini, sorghum dan porang alias iles-iles atau konyaku yang diolah seperti bulir beras menjadi tren di kalangan pegiat diet. Tak dapat disangkal, padi adalah tanaman sumber makanan pokok bagi sebagian besar populasi Nusantara. Pengaruh budaya, cara, dan jenis makanan di tanah air amat dipengaruhi oleh suku-suku yang memegang peran di bidang pemerintahan, perdagangan hingga gaya hidup.

Sebutlah berbagai suku Jawa dan orang-orang Sumatera memberi kontribusi paling besar bukan hanya di wilayah Indonesia bagian barat, tapi juga hingga ke timur. Tidak begitu jelas kapan beras pertama kali masuk di Papua, tapi dari sejarah tercatat suku Biak di Numfor sekitar tahun 1700 telah mengonsumsi beras yang bisa jadi akibat pengaruh pendatang pulau Tidore. Amberkan, Manokwari, dan Raja Ampat adalah wilayah yang telah ditanami padi sejak dahulu. Tapi, seperti di Waigeo Timur dan Barat jenis padinya adalah penghasil beras ketan yang hidup di tanah kering dan bukan untuk konsumsi sehari-hari, melainkan sebagai hadiah atau pesta. Di awal abad 20, orang-orang Jawa di Papua mulai menanam padi, bahkan di tahun 1951-1953 Pemerintah Belanda mendirikan perusahaan padi Kumbe (Kumbe Rijstproject) yang mendapat dukungan dana Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) – yang diharapkan mencukupi kebutuhan beras di seluruh Nederlands Nieuw Guinea. Sejak saat itu, Merauke di Papua menjadi salah satu lumbung pangan nasional bersamaan dengan pendatang transmigran yang mengelola ladang-ladang padi di sana.

Search