Finlandia dan Swedia resmi mendaftar menjadi anggota NATO pada Rabu (18/5/2020), sebuah perubahan monumental bagi dua negara dengan sejarah panjang netralitas masa perang yang sebelumnya berusaha menjauh dari aliansi militer. Langkah tersebut mengakhiri lebih dari 200 tahun kebijakan non-blok Swedia, dan posisi “negara netral” yang diadopsi Finlandia setelah kekalahan pahit oleh Uni Soviet selama Perang Dunia Kedua.
Proses keanggotaan NATO kedua negara itu terus berlanjut, padahal sebelumnya peringatan telah dikirim oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, yang sangat menentang perluasan aliansi militer defensif Barat. Dukungan publik Finlandia untuk bergabung dengan NATO selama bertahun-tahun sekitar 20-25 persen. Tapi sejak invasi Rusia ke Ukraina, antusiasmenya melonjak ke rekor tertinggi 76 persen, menurut jajak pendapat terbaru. Di Swedia, 57 persen populasi ingin bergabung, sekali lagi jauh lebih tinggi daripada sebelum perang Rusia-Ukraina.
Tindakan Vladimir Putin ke negara tetangganya menghancurkan rasa “stabilitas” yang sudah lama ada di Eropa utara, dan membuat Swedia dan Finlandia merasa rentan. Mantan Perdana Menteri Finlandia Alexander Stubb mengatakan bergabung dengan aliansi itu adalah “kesepakatan yang tak terhindarkan” bagi negaranya, segera setelah serangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari. Menteri Pertahanan Swedia Peter Hultqvist menggambarkan invasi itu sebagai pembuktian bahwa pemimpin Rusia “tidak dapat diprediksi, tidak dapat diandalkan, dan siap mengobarkan perang yang kejam, berdarah, dan brutal”. Pada akhirnya, banyak orang Finlandia dan Swedia melihat NATO, dengan keyakinan bahwa aliansi keamanan itu akan membuat mereka tetap aman di tengah ketidakpastian di kawasan Eropa.