Pemerintah memutuskan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 maksimal 10 persen. Namun, pengamat menilai kebijakan ini akan mengancam pemulihan daya beli masyarakat, terutama pekerja rentan. Kenaikan UMP 2023 maksimal 10 persen tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023.
Dalam beleid ini ada tiga poin utama yang ditetapkan, pertama kewajiban bagi pemerintah daerah menetapkan upah minimum 2023 berdasarkan aturan ini. Kedua, rumus perhitungan upah minimum. Berdasarkan beleid ini, upah minimum 2023 harus dihitung dengan rumus yang sudah diatur pemerintah. Rumus kenaikannya = Upah tahun sekarang (Penyesuaian Nilai Upah Minimum (UM) x UM (tahun sekarang). Penyesuaian upah minimum dihasilkan dari dari inflasi (pertumbuhan ekonomi x indeks kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan nilai tertentu dalam rentang tertentu yaitu 0,1 sampai dengan 0,3). Ketiga, provinsi yang telah memiliki upah minimum, penetapannya dilakukan dengan penyesuaian nilai upah minimum yang besaran kenaikannya tidak boleh melebihi 10 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan tersebut akan mengganggu proses pemulihan ekonomi dalam negeri. Bagaimana tidak, kenaikan UMP 2023 tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi, sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat. “Aturan kenaikan upah yang dilakukan pemerintah sangat kontra terhadap pemulihan daya beli masyarakat. Padahal upah minimum bisa menjadi stimulus sekaligus perlindungan sosial terhadap pekerja rentan,” ujar Bhima. Menurut Bhima, skema ideal untuk perhitungan UMP menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, yakni menggunakan formula pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi. Dengan formula ini, maka kenaikan UMP 2023 harusnya sekitar 11,4 persen. Lagi pula, kata Bhima, Permenaker 18/2022 yang merupakan turunan dari PP 36/2021 secara hukum tidak berlaku dan tidak bisa digunakan. Sebab, PP tersebut adalah bagian dari UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. “Harusnya memang pengaturan formulasi pengupahan direvisi saja, jangan menggunakan bagian dari UU Ciptaker,” jelasnya.