Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) tetap menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) 0,25 persen ke level 4,75- 5 persen meskipun perbankan di negara tersebut mengalami gejolak yang berbuntut pada penutupan tiga bank. Pengamat ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan dengan kenaikan FFR, maka selisih (spread) dengan suku bunga acuan BI7 days Reverse Repo Rate makin sempit, karena Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga di level 5,75 persen.
Kondisi tersebut kata Suhartoko berpotensi membuat nilai tukar (kurs) rupiah semakin melemah karena dengan spread yang tipis membuat investor melarikan modalnya (capital outflow) ke aset-aset yang lebih aman (save haven) seperti dollar AS dan yen Jepang. Apalagi, jika mereka tetap percaya dengan pasar AS, meskipun diterpa krisis perbankan dengan penutupan tiga bank di negara dengan perekonomian terbesar dunia itu. Suhartoko mengimbau Bank Indonesia (BI) terkait dengan kebijakan mempertahankan suku bunga acuan agar melihat reaksi pasar jangka pendek, mempertimbangkan likuiditas perbankan, apakah dalam jangka pendek dana pihak ketiga dan kredit masih bisa tumbuh tanpa kenaikan suku bunga.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan kenaikan suku bunga acuan The Fed di tengah gejolak perbankan AS menunjukkan keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan moneter. “Kenaikan suku bunga acuan jika murni karena pertimbangan-pertimbangan moneter dan ekonomi seperti, pengendalian inflasi, akan mengurangi risiko pelemahan nilai tukar, mendorong tabungan, ataupun mengurangi risiko spekulasi,” kata Bambang. Namun, bila pertimbangannya adalah psikologis, misal untuk menenteramkan emosi masyarakat, menjaga harmonisasi kelembagaan atau lainnya, ini yang tentu harus dihindari. “The Fed tampaknya lebih memilih opsi yang mempertimbangkan aspek-aspek ekonomi, meskipun dengan beberapa konsekuensi,” jelas Bambang.