Tekanan rupiah masih berlanjut karena The Fed terus mendorong kebijakan pengetatan moneter yang agresif. Setelah capital outflow akan diikuti depresiasi mata uang negara emerging market. Lonjakan inflasi global telah memaksa bank-bank sentral dunia berlomba menaikkan suku bunga acuan mereka agar tidak terjadi pelarian modal (capital outflow). Bank sentral Swedia, Riksbank, misalnya menaikkan suku bunga acuannnya sebesar 100 basis poin menjadi 1,75 persen pada Selasa (20/9). Kebijakan itu sebagai langkah mengejutkan dan memperingatkan bahwa lebih banyak lagi otoritas moneter yang akan datang karena berusaha mengatasi lonjakan inflasi.
Dalam survei Financial Times baru-baru ini menunjukkan mayoritas ekonom terkemuka memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve atau The Fed akan menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) di atas 4 persen. Level tersebut akan dipertahankan setelah 2023 sebagai upaya untuk melawan inflasi yang tinggi. Analis Makroekonomi Bank Danamon, Irman Faiz, memproyeksikan BI akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) seiring adanya sinyal hawkish dari bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed). AKibat kenaikan tersebut, Irman memperkirakan 7 Day Reverse Repo Rate (BI7 days RR Rate) akan naik dari 3,75 persen menjadi 4 persen.
Pakar Ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan rupiah dan perekonomian Indonesia akan terdampak kebijakan suku bunga tinggi, namun tidak sedalam negara-negara lain. Karena indikator perekonomian utama sebuah negara adalah indeks harga saham, baru setelah itu nilai tukar, suku bunga, dan inflasi. Kalau melihat data terakhir per 16 September, IHSG kita masih yang teratas di kawasan, masih positif di atas Singapura, Jepang, Tiongkok, negatif. Pakar Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan jika suku bunga global naik yang dipicu kebijakan moneter kontraktif untuk meredam inflasi, akan menciptakan potensi capital outflow dari negara uang imbal hasil riil surat berharganya rendah. “Ancaman berikutnya adalah depresiasi mata uang negara tersebut,” kata Suhartoko. Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan jika suku bunga naik, akan diikuti kenaikan tingkat suku bunga kredit. “Khawatirnya sektor usaha yang punya kredit terdampak,” katanya.