Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mengaku keberatan dan menolak rencana pemerintah menaikkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa sebesar 40-75%. Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani menilai negara seperti ingin mematikan industri hiburan dengan menaikan tarif pajak industri, yakni threshold atau batas bawah sebesar 40%. “Itu (tarif pajak) sudah sangat besar sekali. Apakah memang industri hiburan ini industri yang memang mau dibunuh oleh negara atau bagaimana?” tegas Hariyadi dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Kamis (11/1/2024).
Hariyadi mengatakan, industri hiburan merupakan salah satu sektor yang menyediakan banyak lapangan kerja sekaligus menyerap tenaga kerja. Terutama, Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang tidak memiliki bekal cukup dari pendidikan formal. “Industri ini adalah industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar dan tenaga kerja yang diserap itu adalah tenaga kerja yang tidak memerlukan pendidikan tinggi sehingga ini sangat dibutuhkan kepada rakyat,” ujar dia.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) itu juga mempertanyakan dalil pemerintah yang memutuskan tarif pajak hiburan minimal 40%. Menurutnya, kajian akademik adalah dasar yang penting dalam penentuan suatu kebijakan. “Tidak ada naskah akademik yang sahih untuk itu karena harus dilihat dari kajian akademik itu bukan hanya dilihat dari sisi penerapan pajak, tapi dampaknya terhadap masyarakat itu seperti apa,” tuturnya.