Laporan penerimaan Kepabeanan dan Cukai Maret 2024 menunjukkan penurunan sebesar 4,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp69 triliun. Kontributor utama penerimaan cukai, yakni cukai hasil tembakau (CHT) juga terus turun sebesar 7,3% per Maret 2024. Penurunan ini disinyalir disebabkan oleh penurunan produksi industri rokok akibat kenaikan cukai eksesif pada periode 2023-2024. Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menerangkan, kenaikan tarif cukai yang mencapai double digit sejak pandemi tidak memberikan nafas bagi industri untuk memperbaiki kinerjanya sehingga berdampak pada penurunan produksi. Terutama, perusahaan-perusahaan golongan 1 yang memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara, tapi justru mengalami turun produksi paling signifikan.
Ia mengatakan idealnya kenaikan tarif cukai bergantung kepada rumusan baku, misalnya dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi atau inflasi dan tambahan aspek kesehatan misalnya 1%. Saat ini, dia menyoroti bahwa tidak ada korelasi antara parameter ekonomi sebagai rumus baku besaran kenaikan cukai. Dalam kondisi saat ini, kenaikan cukai seharusnya single digit dan perlu dirumuskan bersama. Jadi ini yang harusnya kita dorong agar pemerintah mengeluarkan rumusan baku terkait dengan tarif cukai. Andry menegaskan pemerintah juga perlu melakukan langkah komprehensif untuk memitigasi risiko yang akan terjadi pada kinerja IHT, khususnya yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Andry juga menyoroti dampak kenaikan cukai terhadap maraknya rokok ilegal. Makin tinggi tarif cukai, menurutnya, makin terbuka juga praktik rokok ilegal yang saat ini peredarannya sudah cukup masif. Banyak praktik bisnis rokok ilegal yang dilakukan secara terang-terangan.