Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhamad Iqbal menegaskan Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi memberikan solusi permanen bagi para pengungsi. Penegasan bahwa Indonesia bukan negara pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 disampaikan Iqbal guna menanggapi sejumlah kapal pembawa pengungsi Rohingya yang kembali terdampar di Aceh sejak Rabu (15/11/2023). “Penampungan yang selama ini diberikan semata-mata karena alasan kemanusiaan. Ironisnya, banyak negara pihak pada konvensi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi itu,” kata Iqbal melalui pesan singkatnya pada Kamis (16/11/2023).
Dari pengalaman Indonesia menangani para pengungsi Rohingya, teridentifikasi kebaikan Indonesia yang memberikan penampungan sementara malah banyak dimanfaatkan oleh jaringan penyelundup manusia. Jaringan penjahat itu mencari keuntungan finansial dari para pengungsi tanpa peduli risiko tinggi yang dihadapi oleh para pengungsi Rohingya, khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.“Bahkan, banyak di antara mereka teridentifikasi korban tindak pidana perdagangan orang,” kata Iqbal.
Sebelumnya, sebuah perahu besar yang membawa 196 imigran Rohingya mendarat di bibir Pantai Kemukiman Kalee, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, pada Rabu sekitar pukul 11.30 WIB. Dengan kehadiran para pengungsi yang terdampar tersebut, Pemerintah Kabupaten Pidie saat ini menampung sebanyak 335 pengungsi Rohingya sejak akhir 2022. Setelah itu, satu unit kapal kayu yang ditumpangi oleh sekitar 200 orang imigran Rohingya mencoba memasuki kawasan perairan Aceh, pada Kamis dini hari. Namun, masyarakat setempat menolak kehadiran mereka dan menarik kapal itu kembali ke arah tengah laut berjarak 50 meter dari bibir pantai.