Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui saat ini bursa karbon masih minim transaksi meski sudah meluncur sejak September 2023. Kemenkeu pun mengungkapkan alasan bursa karbon sepi peminat. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Boby Wahyu Hernawan mengungkapkan minimnya transaksi yang terjadi sepanjang delapan bulan ini sejalan dengan rendahnya kesadaran masyarakat akan perubahan iklim. “Kenapa masih juga agak tipis frekuensi transaksi? Kembali kepada supply dan demand, bagaimana para pihak itu aware tentang bahwa ada nilai ekonomi karbon yang dapat di monetisasi, bisa diperdagangkan,” ujarnya.
Secara umum, Boby kembali menekankan bahwa potensi sumber pengurangan karbon di Indonesia luar biasa melimpah. Pasalnya, potensi bursa karbon Indonesia mencapai lebih dari Rp3.000 triliun. Untuk itu, perlu untuk menggairahkan pasar bursa karbon ke semua pihak untuk dapat melakukan penguaran CO2 dan mendapatkan manfaat dari bursa karbon. Sepinya peminat bursa karbon ini terpantau dari frekuensi transaksi yang terjadi dalam delapan bulan ke belakang. Bahkan, Kemenkeu mencatat tidak ada transaksi yang terjadi selama Februari 2024, alias nol transaksi.
Transaksi terbesar hanya terjadi sepanjang September hingga Desember 2023 yang mencapai Rp30,9 miliar dengan volume transaksi sebanyak 494.254 transaksi. Pada Januari 2024 tercatat terdapat 7.656 transaksi senilai Rp453,23 juta. Kemudian pada Maret 2024 transaksi mengalami kenaikan signifikan dengan volume sebesar 70.046 transaksi senilai Rp3,94 miliar. Terakhir pada April 2024, volume transaksi di bursa karbon yang terjadi sebanyak 108 dengan nilai Rp6,35 miliar. Bukan hanya dari volume dan nilai transaksi, angka partisipan dalam bursa karbon juga cenderung minim peningkatan. Secara keseluruhan, terdapat 57 partisipan dalam bursa karbon ini sejak September 2023 hingga April 2024. Sebanyak 46 partisipan masuk ke bursa karbon pada akhir 2023, sementara sepanjang 2024 hanya terdapat penambahan 11 partisipan.