Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Sandy Firdaus mengatakan defisit anggaran Rp1,5 triliun yang dihadapi Sulawesi Selatan (Sulsel) sebenarnya bisa dikelola oleh pemerintah daerah (pemda). Salah satunya, dengan menata ulang fokus (refocusing) anggaran belanja daerah. Sandy juga menjelaskan bahwa defisit dan bangkrut merupakan hal yang berbeda. Sandy mengatakan defisit adalah kondisi di mana dana pendapatan lebih kecil dibandingkan dana belanja. “Memang mayoritas pemda di Indonesia menganut paham defisit, bukan surplus. APBN kita pun selalu defisit. Cuma, intinya defisit nanti harus ditutup pembiayaan. Kalau di pemda, utamanya pembiayaan ditutup dengan SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran) tahun yang lalu,” ucap dia.
Sandy mengklaim pembiayaan pemda dari pinjaman relatif kecil. Sementara, ia mengatakan Sulsel memiliki pinjaman pada 2020 lalu yang sudah dibayarkan. “Berarti ini isunya apa? Mungkin penganggarannya kurang. Yang baru ketemu oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), ada kewajiban akumulasi sekian tahun yang belum teranggarkan,” ucap Sandy lebih lanjut.
Staf Khusus Kemenkeu Yustinus Prastowo juga sebelumnya menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sulsel tidak sehat. Ia mengatakan pihaknya sudah membedah hasil analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2022 dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) 2023 Pemprov Sulsel. “Hasil analisis LKPD 2022 dan LRA 2023 Pemprov Sulsel menunjukkan kinerja keuangan yang kurang sehat, khususnya pada aspek likuiditas. Untuk 2023, terdapat utang jangka pendek jatuh tempo dan utang jangka panjang yang menjadi kewajiban Pemprov Sulsel,” kata Prastowo dalam keterangan resmi, Minggu (15/10). Namun, Prastowo menekankan masalah yang dihadapi Sulsel bukan dari sisi solvabilitas atau kemampuan melunasi utang jangka panjang. Ia melihat provinsi itu adalah soal likuiditas alias kesulitan melunasi utang jangka pendek.