Pemerintah diimbau untuk lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan negara, terutama menjaga perbandingan jumlah utang dengan penghasilan yang diterima atau Debt Service Ratio (DSR). Apalagi, saat ini tax ratio atau rasio perpajakan sangat rendah yaitu 9,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan semakin tinggi DSR, maka tingkat utang suatu negara semakin mengkhawatirkan. Selain DSR, juga perlu diwaspadai tax ratio dibanding utang RI yang semakin mengkhawatirkan. DSR menunjukkan rasio kewajiban pembayaran pokok dan jumlah utang luar negeri, dengan transaksi berjalan. Jika DSR makin tinggi, artinya semakin berisiko karena beban utang semakin berat.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Mudrajad Kuncoro, mengaku khawatir terkait perkembangan indikator utang Indonesia, terutama dari tingkat DSR. DSR Indonesia sebutnya selalu berada di atas 20 persen. Ini cukup mengkhawatirkan karena rasio DSR yang aman untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah sekitar 20-25 persen. Bila menilik data dari Bank Dunia, mulai tahun 2014, DSR Indonesia terus berada di atas 20 persen. Jika disandingkan dengan data yang disajikan oleh Bank Indonesia (BI) dalam laporan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI), terlihat tren DSR tier-1 Indonesia memang selalu di atas 20 persen dari 2014. Namun, data terakhir atau pada kuartal II-2022 menunjukkan, DSR Indonesia sudah turun ke 17,88 persen.
Sementara Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai perkembangan utang karena ke depan akan banyak tekanan terhadap posisi utang. Menurutnya, Ke depannya akan lebih banyak tekanan terhadap posisi utang di banyak negara termasuk Indonesia. Sebab itu, pemerintah harus lebih bijak menggunakan utang hanya untuk kegiatan produktif. Riefky menjelaskan bahwa DSR itu ada dua yakni tier satu dan tier dua. Indonesia untuk DSR tier satu di kisaran 17 persen, sedangkan DSR tier dua di kisaran 42 persen. Menurut Riefky, dengan DSR Indonesia saat ini relatif masih aman, apalagi kalau dilihat DSR tier satu misalnya yang mencakup pembayaran pokok bunga utang jangka pendek dan jangka panjang serta pembayaran pokok utang jangka masih di kisaran 17 persen. Meskipun data DSR pada akhir semester I-2022 sudah di bawah 20 persen, namun Riefky mengingatkan agar pemerintah perlu mewaspadai kemampuan membayar utang pada 2023 mendatang. Hal itu terkait dengan potensi perlambatan ekonomi hingga resesi global.