Kejaksaan Agung bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah mengumumkan adanya kerugian negara lebih dari Rp 8 triliun dalam kasus korupsi pembangunan tower base transceiver station (BTS). Dari kerugian itu, Kejaksaan Agung memastikan tidak ada yang mengalir kepada partai politik. “Enggak ada ke partai,” ujar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, Minggu (21/5/2023).
Kerugian ini sendiri diketahui berasal dari tiga komponen, yaitu: biaya kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun. Akan tetapi tim penyidik masih mempelajari rincian kerugian dari masing-masing komponen. Adapun nilai proyek pembangunan BTS ini mencapai Rp 28 triliun hingga tahun 2024. Sementara anggaran yang sudah digelontorkan dari tahun 2020 hingga 2021 mencapai Rp 10 triliun. Sumber pendanaannya pun berasal dari beberapa komponen anggaran negara.
Sebelumnya Kepala BPKP, Muhammad Yusuf Ateh telah mengumumkan hasil penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi BTS. Dalam menghitung kerugian keuangan negara, Ateh mengungkapkan bahwa BPKP melakukan penelitian dan prosedur audit dengan analisis, evaluasi data dan dokumen, serta klarifikasi pada para pihak terkait. Selain itu, BPKP juga melakukan observasi fisik bersama tim ahli Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan penyidik ke beberapa lokasi, mempelajari, serta menggunakan pendapat ahli Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), tim ahli lingkungan dan ahli keuangan negara. “Berdasarkan bukti yang kami peroleh, kami menyimpulkan terdapat kerugian negara 8.320.840.133.395 rupiah,” ujar Ateh dalam konferensi pers bersama Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin di Kantor Kejaksaan Agung pada Senin (15/5/2023).