Keberpihakan pada Petani Begitu Lemah

Pernyataan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, soal impor beras secara terukur tidak menjatuhkan harga di tingkat petani dinilai ngawur. Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (3/4) melaporkan harga gabah dan beras pada Maret 2023 turun dibandingkan bulan sebelumnya. Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani tercatat turun 7,65 persen dan beras di penggilingan turun 1,31 persen. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, mengatakan selama Maret 2023, rata-rata harga GKP di tingkat petani 5.274 rupiah per kilogram (kg). Sementara di tingkat penggilingan rata-rata harga sesar 5.403 rupiah per kg. Sementara itu, rata-rata harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani menurun sebesar 5,99 persen secara bulanan menjadi 6.051 rupiah per kg. Adapun di tingkat penggilingan harga rata-ratanya sebesar 6.178 rupiah per kg atau turun 5,78 persen.

Arief sendiri dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Senin (3/4), mengatakan impor beras secara terukur tidak menjatuhkan harga di tingkat petani. Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, yang diminta pendapatnya mengatakan keputusan impor sangat aneh. Sebab, di saat panen sedang berlangsung, Bapanas malah mengumumkan impor. Pengumuman pun dibuat kesan seolah-olah Bulog sudah pesimistis atas kemampuannya menyerap beras dari hasil panen. “Menurut saya, pengumuman ini baiknya dilakukan setelah realisasi serapan dilakukan, sehingga jadi terukur sebenarnya berapa kebutuhan setelah dikurangi dari produksi dalam negeri,” kata Said.

Bapanas yang awalnya diharapkan bisa memperjuangkan produksi petani, setelah berjalan ternyata tetap lebih memilih impor karena murah dan mudah. Padahal, semua pihak tahu, implikasi pengumuman impor menjelang atau bahkan di tengah panen raya selalu memberikan efek psikologis pasar gabah. Keputusan impor itu juga menunjukkan betapa keberpihakan pada petani dalam negeri begitu lemah. Jika persoalannya Bulog tidak bisa menyerap beras/gabah karena kalah bersaing harga dengan pelaku usaha lain maka seharusnya kapasitas mereka diperkuat dari sisi daya belinya. Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan turunnya harga gabah kering mengindikasikan ada beras impor yang sudah masuk ke pasar. Hal itu tidak sesuai dengan janji Kepala Bapanas yang menyatakan bahwa beras impor akan ditahan di negara asal dan hanya digunakan sebagai buffer stock. Para pengambil keputusan, katanya, harus konsekuen dengan perencanaan dan eksekusi di lapangan. Petani sebagai produsen pangan harus jadi pihak utama yang harus dilindungi.

Search