Kasak-kusuk Tawaran Uang hingga Suara Jelang Penunjukan Penjabat Kepala Daerah

Lobi aparatur sipil negara (ASN) yang mengincar posisi penjabat kepala daerah melalui perantaranya sudah dimulai sejak akhir tahun lalu di parlemen. Achmad Baidowi, yang memiliki posisi strategis sebagai sekretaris Fraksi PPP di DPR, dan juga sebagai Ketua DPP PPP, menjadikannya ”sasaran” para ASN. Dengan posisi strategis tersebut, Baidowi dianggap bisa memengaruhi Kemendagri sebagai pemegang kunci dalam penentu penjabat kepala daerah. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, menuturkan hal ini dilakukan secara sunyi senyap. Tak hanya ASN yang mendekati, ada pula anggota Komisi II yang diminta parpolnya untuk mendekati ASN tertentu dan kemudian merekomendasikannya ke Kemendagri agar dipilih.

Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri periode 2015-2019, Soni Sumarsono, membenarkan adanya fenomena pelobi untuk memuluskan ASN menjadi penjabat. Pelobi itu tidak hanya bekerja untuk satu daerah, tetapi banyak daerah. Ada tiga arah desakan yang muncul ketika Kemendagri ingin memilih penjabat bupati/wali kota dari tiga nama yang diusulkan oleh gubernur. Pertama, desakan datang dari atas, seperti partai politik dan DPR. Kedua, desakan dari bawah, seperti gubernur. Ketiga, desakan dari samping, seperti tokoh-tokoh tertentu yang cukup berwibawa di daerah tersebut. Dalam menghadapi tekanan itu, sederhananya Kemendagri mengikuti apa yang diusulkan gubernur (usulan nomor satu biasanya usulan prioritas). Kedua, mengikuti disposisi Mendagri (paling aman karena tinggal melaksanakan apa yang diperintahkan Mendagri). Hal yang menjadi problem adalah ketika urutan nomor tiga atau dua yang diusulkan oleh gubernur ingin menjadi penjabat. Di sinilah transaksi rawan terjadi.

Menurut Luqman Hakim, Anggota DPR dari Fraksi PKB, mengatakan gerilya para ASN untuk menjadi penjabat tak lepas dari strategisnya posisi itu. Penjabat kepala daerah memiliki kewenangan yang hampir sama kuat dengan kepala daerah definitif hasil pilkada. Begitu pula upah yang diperoleh. Apalagi mereka menjabat bisa sampai 2,5 tahun. Jika menjadi kepala daerah lewat pilkada bisa keluar ongkos sampai Rp 30 miliar, sedangkan kalau menjadi penjabat tak perlu keluar ongkos sebegitu besarnya. Ditambah lagi, dia akan memimpin daerah sendiri, tidak ada wakil, jadi besar sekali kewenangannya.

Search