Pemerintah memutuskan untuk menunda penerapan pajak karbon, dari yang seharusnya diimplementasikan pada 1 Juli 2022. Alasannya, karena perekonomian nasional dibayangi risiko global. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menjelaskan pajak karbon merupakan upaya Indonesia untuk mengendalikan perubahan iklim atau climate change. Dalam menuju emisi rendah karbon pada 2060 mendatang, pemerintah melihat saat ini penuh dihadapkan berbagai tantangan, baik itu inflasi global karena harga komoditas, serta terjadinya geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang belum usai. Fokus pemerintah tetap arahkan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat.
Penundaan pajak karbon ini, merupakan penundaan yang kedua kali setelah pada akhir 2021 pemerintah berencana mengimplementasikan pajak karbon yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan mulai 1 April 2022. Saat itu, pemerintah berdalih implementasi diundur untuk menunggu kesiapan mekanisme pasar karbon.
Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan mencatat bahwa tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Tarif tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari usulan awal Rp 75. Penetapan pajak karbon di Indonesia memakai skema cap and tax atau mendasarkan pada batas emisi. Terdapat dua mekanisme yang bisa digunakan Indonesia, yaitu menetapkan batas emisi yang diperbolehkan untuk setiap industri atau dengan menentukan tarif pajak yang harus dibayarkan setiap satuan tertentu. Secara umum, skema cap and tax ini mengambil jalan tengah antara skema carbon tax dan cap-and-trade yang lazim digunakan di banyak negara.