Kekhawatiran masih melanda para pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan di sektor industri tersebut masih terus terjadi. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartika Sastraatmaja menyampaikan, kondisi industri TPT dalam negeri kian memburuk. Data API menunjukkan, jumlah karyawan industri TPT yang terkena PHK saat ini sudah di atas 61.000 karyawan. “Ini pun tidak semua pelaku industri tekstil melapor dan masih ada korban PHK dari perusahaan di luar anggota API,” ungkap Jemmy.
Pekan lalu, dalam sebuah konferensi pers, Asosiasi Pengusaha Indonesia (API) menyebut bahwa jumlah karyawan industri TPT yang terkena PHK mencapai 58.572 karyawan. Data tersebut berasal dari hasil survei API dengan responden sebanyak 146 anggota API dan 78 anggota non API. Penyebab utama tren PHK ini adalah seretnya permintaan ekspor produk TPT Indonesia, sehingga banyak pabrik di dalam negeri yang mengurangi kapasitas produksi dan terpaksa memangkas jumlah karyawannya.
Wakil Ketua API Ian Syarif menambahkan, daya beli masyarakat global mengalami penurunan seiring perlambatan ekonomi. Negara-negara lain yang menjadi produsen TPT sebenarnya juga menghadapi persoalan serupa dan mereka mencoba mencari pasar ekspor alternatif. Sayangnya, Indonesia tak kuasa membendung produk-produk TPT impor limpahan negara lain yang juga mengalami kelebihan pasokan. Alhasil, para pelaku TPT Indonesia tak bisa mengoptimalkan potensi pasar domestik sebagai pengganti ekspor. “Tren PHK ini masih bisa terjadi dalam waktu yang lama,” kata Ian. Ian menilai, tata niaga industri TPT harus dibenahi dan disempurnakan. Sebab, faktanya impor produk TPT masih terus membanjiri Tanah Air. Kebijakan safeguard yang selama ini diterapkan juga hanya bisa berlaku untuk 170 dari total 800 harmonized system (HS) code produk TPT. “Jadi, tidak semua produk mendapat perlindungan,” imbuhnya.