Netralitas aparat pemerintah dipertanyakan ketika baru-baru ini terjadi pencopotan bendera PDI Perjuangan dan baliho bakal capres-cawapres PDI-P, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, di Kabupaten Gianyar, Bali. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bali menurunkan baliho tersebut pada Selasa (31/10/2023), menjelang kunjungan kerja Jokowi ke Pasar Bulan, Bali. Menurut keterangan Satpol PP setempat, penurunan atribut politik itu merupakan instruksi langsung dari Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya.
Bakal capres PDI-P Ganjar Pranowo menilai, baliho tersebut tak semestinya diturunkan jika tak melanggar aturan. Sementara itu, Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, menilai peristiwa ini memperlihatkan diskriminasi politik terhadap partainya. Menanggapi hal ini, Jokowi mengingatkan agar pemerintah daerah, aparatur sipil negara (ASN), serta TNI dan Polri tetap netral selama tahun politik. Menurut Jokowi, jika keberadaan baliho itu melanggar aturan, mestinya pemda lebih dulu meminta izin ke pengurus partai setempat untuk memindahkan atribut-atribut politik tersebut.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, berpendapat Pemilu Presiden 2024 menjadi ujian netralitas bagi Jokowi. Menurutnya, sebagai kepala negara, Jokowi harus berdiri di tengah dan tidak memihak. Namun, bagaimanapun, sulit buat Jokowi tidak mendukung putranya sendiri yang ikut berkontestasi. Dalam situasi seperti ini, Ujang menilai, besar potensi Jokowi bersikap tidak netral. Apalagi, jika presiden ingin tongkat kekuasaannya dilanjutkan oleh kerabatnya sendiri. Menurut Ujang, harus diwaspadai bersama, jangan sampai cawe-cawe tersebut berujung pada pengerahan aparat pemerintahan dan penggunaan fasilitas negara untuk pemenangan calon tertentu. Sebagai kepala pemerintahan, kata Ujang, Jokowi mestinya dapat memastikan jajarannya, mulai dari ASN hingga TNI-Polri, tetap netral.