Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga perlu dipatuhi dan ditindaklanjuti pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang. Selain itu, mengawal implementasi putusan MK merupakan bagian konsolidasi demokrasi dan kepastian hukum pemilu. Terdapat sejumlah kebijakan hukum yang perlu dipertimbangkan oleh pembentuk UU. Misalnya, untuk menentukan kepastian jeda antara pemilu nasional dan daerah.
Titi juga menyoroti pentingnya pengaturan mekanisme pengisian jabatan untuk anggota DPRD dan kepala daerah di masa transisi. Ia mengusulkan ada perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah hasil pemilihan 2024. Namun, perpanjangan masa jabatan merupakan ranah pembentuk undang-undang. Untuk menyikapi kompleksitas pengaturan pemilu pasca-pemisahan, Titi mendorong adanya penyusunan RUU Pemilu yang komprehensif.
Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP UI Panji Anugrah Permana mengatakan, pemisahan pemilu nasional dan lokal akan menciptakan perubahan atau pergeseran landscape politik, baik positif maupun negatif. Sementara itu, Bima Arya mengatakan revisi UU Pemilu harus fokus pada tiga hal, yakni menata sistem dan pelembagaan politik; pentingnya revisi untuk memperkuat sistem multipartai sederhana yang disandingkan dengan presidensial, dan meneguhkan konsep otonomi daerah.