Dua hari jelang tutup tahun 2022, diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja. Hadimya perppu ini memancing ragam reaksi karena dinilai tak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIII/2020 yang menghendaki perbaikan pembentukan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dilakukan dengan mekanisme pembentukan UU biasa.
Putusan MK dalam uji formil UU Cipta Kerja menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Penyebabnya, metode omnibus dalam penyusunan UU Cipta Kerja belum diatur dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Selain juga bertentangan dengan asas keterbukaan karena tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara bermakna (meaningful participation). UU yang cacat formil seharusnya tidak punya kekuatan mengikat/tidak berlaku. MK menyatakan, UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Pertimbangannya, untuk menghindari ketidakpastian hukum karena telah banyak dikeluarkan peraturan pelaksana yang diimplementasikan di tataran praktik.
Putusan MK juga memberikan rambu-rambu perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja. UU P3 harus mengatur tentang dapat digunakannya metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian UU P3 digunakan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan memenuhi asas ke’terbukaan. Perbaikan juga dapat dilakukan pada substansi yang menjadi keberatan dari kelompok masyarakat. Terhadap putusan MK, Presiden Joko Widodo menyatakan menghormati dan akan melaksanakan dengan memerintahkan kepada para menteri terkait untuk segera menindaklanjuti secepat-cepatnya. Langkah tindak lanjut tecermin saat pemerintah bersama DPR menyepakati skema perbaikan, yaitu revisi UU P3 diputuskan menjadi pintu masuknya. Hasilnya, lahir Perubahan Kedua UU P3 melalui UU No 13/2022 yang di Pasal 64 Ayat (la) mengatur penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus.
Setelah lahimya UU No 13/2022, pemerintah menargetkan perbaikan UU Cipta Kerja bisa selesai 2022, dengan juga akan melibatkan partisipasi publik. Dimulai dengan menyiapkan naskah akademik dan RUU sebelum nantinya diajukan ke DPR Sosialisasi di beberapa kota juga dilakukan pemerintah melalui Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja (Setneg.go.id, 28/10/2022). Melihat langkah perbaikan UU Cipta Kerja, dapat dikatakan pemerintah sudah berada di jalur sebagaimana maksud putusan MK. Namun, mendadak terbit. Perppu Cipta Kerja dengan pertimbangan adanya kondisi kegentingan memaksa, terutama penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi. Perppu dimaksudkan untuk mengganti UU Cipta Kerja. Isinya merupakan materi dari UU Cipta Kerja, sekaligus menambahkan beberapa materi baru.
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden sesuai Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 memiliki kewenangan menetapkan perppu. Namun, untuk Perppu Cipta Kerja, kewenangan itu tak otonom mengingat UU ini merupakan UU dengan status inkonstitusional bersyarat yang berdasarkan putusan MK wajib diperbaiki pembentukannya melalui prosedur pembentukan UU biasa. Maksud putusan MK memberikan jangka waktu dua tahun untuk melakukan perbaikan adalah karena waktu itu dianggap cukup untuk membentuk landasan hukum bagi adopsi metode omnibus, sekaligus dilakukannya perbaikan UU Cipta Kerja guna memenuhi metode yang pasti serta keterpenuhan asas keterbukaan. Sangat disayangkan, kekurangcermatan dalam memahami UUD 1945 dan putusan MK telah menjadikan perbaikan UU Cipta Kerja menjadi tidak berkepastian hukum kembali. Pilihan pembentukan Perppu Cipta Kerja yang mendasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 tanpa melihat Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 perihal sifat putusan final dan mengikat MK telah menciptakan ruang pengujian Perppu Cipta Kerja ke MK.