Izin Pengembang EBT Harus Dipangkas

Pemerintah harus memberi insentif kepada investor yang giat mengembangkan pembangkit listrik EBT seperti PLTS Atap, hydro, maupun panas bumi. Insentif tersebut bisa dalam bentuk memperpendek masa pembangunan, memudahkan perizinan agar biaya produksi lebih efisien. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) sebelumnya meminta PT PLN (Persero) menjalankan Peraturan Menteri ESDM dengan tidak membatasi pemanfaatan PLTS Atap hanya 10-15 persen dari kapasitas listrik terpasang di sektor industri. Ketua Umum AESI, Fabby Tumiwa, menilai kebijakan PLN tersebut bisa mempengaruhi target energi terbarukan yang dicanangkan pemerintah.

Sementara Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi, mengatakan potensi panas bumi sangat besar, namun masa pembangunannya lama sehingga harga listriknya jadi mahal. Pemerintah, bisa memperpendek masa pengembangan pembangkit panas bumi agar harga jual listrik lebih murah dan feasible bagi pengembang. Jika mengikuti bussines as usual, waktu penggarapan panas bumi bisa sampai 12 tahun. Kalau waktunya bisa dikurangi 4-5 tahun, bisa menurunkan harga jual listrik.

Direktur Panas Bumi, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Harris Yahya, mengatakan ada enam poin yang bisa mempercepat pengembangan EBT di Indonesia, yakni Rancangan Perpres tentang harga EBT, Penerapan Permen ESDM tentang PLTS Atap, Mandatori bahan bakar nabati (BBN), pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, kemudahan perizinan usaha, dan mendorong demand ke arah energi listrik. Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energi, Ahmad Yuniarto, mengatakan perusahaan pengembang panas bumi harus bisa mencapai efisiensi tinggi agar harganya bisa kompetitif.

Search