Menyusul pemberian abolisi dan pembebasan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dari kasus korupsi impor gula, kuasa hukum sembilan importir swasta yang juga didakwa dałam kasus tersebut meminta agar dakwaan dihentikan. Menanggapi permohonan tersebut, Menteri Sekretaris Negara yang juga Juru Bicara Presiden, Prasetyo Hadi, mengatakan pemerintah belum membahasnya. Namun, jika permohonan itu sudah diterima, pihak Istana akan menyerahkan kepada Kementerian Hukum untuk mengkajinya secara lebih lanjut. Menurut Prasetyo, selama belum ada kajian itu, proses hukum dałam kasus impor gula tetap berjalan.
Beberapa jam sebelum pernyataan dari Mensesneg Prasetyo Hadi, tim kuasa hukum dari sembilan importir swasta yang didakwa bersama Tom dałam kasus impor gula mengajukan permohonan penghentian dakwaan ke Kejagung. Selain meminta penghentian dakwaan, permohonan itu juga meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mengeluarkan penetapan untuk menghentikan perkara. Hotman Paris Hutapea, salah seorang kuasa hukum terdakwa Tony Wijaya NG, mengatakan, permohonan ini didasarkan pada Keppres Nomor 18 Tahun 2025 tentang Pemberian Abolisi yang ditindaklanjuti dengan pembebasan Tom dari tahanan. Oleh karena itu, pemberhentian proses hukum terhadap Tom semestinya turut memberhentikan seluruh proses dari semua pihak yang terlibat.
Secara terpisah, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menilai pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti bagi Hasto Kristiyanto oleh Presiden sebagai langkah yang berpotensi melemahkan konsistensi penegakan hukum di Indonesia kendati memiliki dasar konstitusional. Jika campur tangan politik semakin mendominasi proses hukum, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum akan semakin tergerus. PSHK mendesak Presiden dan DPR untuk menjelaskan pertimbangan dan tujuan pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden dan pertimbangan resmi DPR mengenai persetujuan atas abolisi dan amnesti tersebut kepada publik secara transparan. Selain itu, PSHK meminta Presiden dan DPR menjamin bahwa kebijakan itu tidak akan mengganggu independensi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi di masa depan.