Insentif perpajakan terpantau terus meningkat sepanjang periode kedua pemerintahan Joko Widodo atau sejak 2020, dari Rp246,1 triliun menjadi Rp445,5 triliun untuk tahun depan 2025. Namun demikian, tidak membuat penerima insentif itu tumbuh maksimal berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Terbesar, industri pengolahan yang paling menikmati sederet relaksasi pajak dari pemerintah. Rata-rata setiap tahunnya, sebanyak 26,3% dari total belanja perpajakan mengalir ke industri pengolahan. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menjelaskan pada dasarnya pilihan belanja pajak untuk sektor tersebut karena dianggap memiliki multiplier effect bagi perekonomian yang sebagian didominasi oleh padat karya dan padat modal. Alhasil, dana lebih yang dimiliki perusahaan maupun masyarakat dapat digunakan untuk belanja barang maupun jasa. Pada akhirnya, hal tersebut akan mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut pengeluaran, yang didominasi oleh konsumsi rumah tangga.
Belanja perpajakan menjadi instrumen kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran di pos APBN. Instrumen tersebut sering disebut sebagai indirect government spending policy. Sebagai contoh, pajak ditanggung pemerintah (DTP). Di mana pengeluaran pemerintah dilakukan secara tidak langsung. Dengan kata lain, pemerintah tetap mengenakan pajak atas suatu sektor tertentu. Akan tetapi, dana untuk membayar pajak tidak ditanggung oleh konsumen. Pemerintah menanggung pajak yang seharusnya dibayar masyarakat. Prianto menilai target belanja pajak Rp445,5 triliun sebagai pilihan yang paling rasional bagi penyusun kebijakan anggaran di APBN 2025. Pasalnya, seringkali tidak ada posisi ideal (optimum) karena selalu ada pihak yang pro dan kontra ketika proses tersebut ada di posisi perumusan kebijakan fiskal dari sisi anggaran tax expenditure atau belanja perpajakan. Melihat rencana tahun depan, belanja pajak menurut jenisnya terbesar untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) senilai Rp265,6 triliun. Kemudian belanja untuk Pajak Penghasilan (PPh) senilai Rp144,7 triliun.
Meski demikian, pertumbuhan dan distribusi industri pengolahan terhadap PDB lambat laun melemah. Padahal, manufaktur menjadi lapangan usaha dengan distribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri pengolahan sebesar 4,64% (year-on-year/YoY) pada 2023 dengan distribusi sebesar 18,67%. Kemudian pada kuartal I/2024 melambat dengan tumbuh 4,13%. Terakhir pada kuartal II/2024, sektor manufaktur tersebut hanya mampu tumbuh sebesar 3,95% (YoY) dengan distribusi sebesar 18,52%. Manajer Riset dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat daya saing sektor tersebut tidak hanya soal pajak, tetapi kepastian regulasi dan stabilitas politik turut andil dalam kontribusinya terhadap ekonomi. Dua fasilitas atau insentif yang berkontribusi besar pada belanja perpajakan sektor manufaktur, yakni PPN tidak wajib dipungut bagi pengusaha kecil dan PPN dibebaskan atas kebutuhan pokok.