Pemerintah RI melalui Kemenko Marves berencana untuk mengeluarkan insentif baru untuk pembebasan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bahan baku impor lithium pada 2023 mendatang. Rencana ini dilakukan sebagai upaya mempercepat era elektrifikas kendaraan bermotor terutama urusan baterai. Menanggapi hal itu, PT International Chemical Industry (Intercallin) sebagai produsen baterai lokal Indonesia yang sudah memproduksi cell lithium pada awal 2022 mengaku mendukung usulan terkait. Hanya saja masih terdapat sejumlah aspek yang perlu diperjelas seperti bahan-bahan apa saja yang akan dibebaskan tarif impor dan durasi atau batas waktu pemberiannya.
“Industri baterai itu rangkaiannya panjang sekali dan masih banyak rantai industri yang kita belum punya, khususnya pada sektor hulu (pengolahan bahan mentah). Ini juga industrinya beda-beda meski sama-sama di sektor baterai (banyak cabang),” kata Direktur Pemasaran PT Intercallin Hermawan Wijaya. “Seperti ada pack, ada cell, material bahan baku cell, percusor, katoda, sampai bahan kimia, smelter, refinery, dan lainnya. Jangan sampai pemberian pembebasan tarif impor bahan baku baterai ini tidak diperjelas karena berpotensi untuk mematikan industri lokal. Cukup beberapa sektor atau bagian yang memang diperlukan saja untuk membangun ekosistem baterai kendaraan listrik. Kemudian, apakah bahan terkait dapat menggunakan fasilitas perjanjian dagang bilateral antara China dan Indonesia, atau Indonesia-Australia Comperhensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) karena litium kabarnya akan diimpor dari Negeri Kanguru.
“Lalu, apakah kebijakan ini untuk sesaat atau jangka panjang? Karena bila jangka panjang, juga kurang bagus sebab jika suatu bahan baku dibeli dari luar negeri agar diolah jadi bahan setengah jadi atau jadi di dalam negeri, bisa menambahkan nilai tambah sekaligus membangun industri dalam negeri. Tetapi untuk jangka panjang kalau industri jenis tersebut sudah dikuasai oleh asing, terus Indonesia ini mau ngapain? Secara ekonomi memang ada nilai tambah, tapi secara industri lokal khususnya UKM, tidak bisa tumbuh jadi semakin besar,” kata Hermawan.
Jika Indonesia hanya mengandalkan suatu joint venture pada perusahaan asing yang akan masuk ke industri baterai kendaraan listrik dengan pembagian 50:50, menurut Hermawan bakal menjadi kesalahan fatal. Mengingat dalam perjanjian dagang biasanya perusahaan pemilik akan menetapkan biaya-biaya terkait lisensi sampai technical assistance. Beban ini, menjadi keuntungan perseroan sebagai pemilik resmi brand. “Misalnya ditetapkan 3 persen. Jadi setiap satu penjualan, berapapun harganya, mau jual untung atau rugi, kita harus memberikan 3 persennya ke pemilik. Secara TKDN memang bisa besar, devisa pun tumbuh, tapi siapa yang paling untung?,” ujar dia lagi.