Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) buka suara terkait alasan belum dibayarkannya utang rafaksi minyak goreng pemerintah kepada produsen dan peritel. Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan, pihaknya sebenarnya tidak memiliki permasalahan terkait dana untuk melunasi utang minyak goreng yang diklaim peritel mencapai Rp 344 miliar. Namun demikian, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, BPDPKS baru bisa menyalurkan dana pembayaran selisih rafaksi itu setelah mendapatkan rekomendasi dan verifikasi dari Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Ditjen PDN) Kementerian Perdagangan. “Sesuai dengan regulasi yang ada, yang diatur pada waktu itu dengan Permendag Nomor 3 Tahun 2022 bahwa BPDPKS baru bisa membayarkan dana rafaksi itu setelah ada hasil verifikasi dari Ditjen PDN di Kemendag,” ujar dia. “Nah sampai saat ini kami belum menerima hasil verifikasinya jadi enggak bisa kita bayar dong kan belum ada hasilnya?,” sambungnya.
Lebih lanjut Eddy bilang, pihaknya mengetahui keluhan yang disampaikan oleh pelaku usaha serta ancaman terkait penghentian pasokan minyak goreng di toko ritel. Oleh karenanya, BPDPKS terus berkoordinasi dengan Ditjen PDN Kemendag terkait hasil rekomendasi dan verifikasi selisih rafaksi minyak goreng pelaku usaha. “Sampai sekarang kalau ditanya pak dirjen bahwa itu sudah disampaikan kepada pak menteri (Zulkifli Hasan), tapi pak menteri belum memberikan arahan kan gitu,” tutur Eddy. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebutkan, alasan belum dilakukannya pembayaran utang oleh BPDPKS ialah terdapat selisih harga untuk total pembayaran rafaksi minyak goreng yang harus dibayar kepada peritel.
Nilai utang minyak goreng yang diklaim oleh 54 pelaku usaha kepada BPDPKS mencapai Rp 812 miliar. Sementara itu, nilai rafaksi yang sudah diverifikasi Sucofindo hanya Rp 478 miliar atau 58,43 persen dari total nilai. Perbedaan antara klaim dan hasil verifikasi, kata Zulkifli, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, klaim penyaluran rafaksi yang tidak dilengkapi bukti penjualan sampai dengan ke pengecer, biaya distribusi dan ongkos angkut yang tidak dapat diyakini. Selain itu, penyaluran rafaksi minyak goreng yang melebihi 31 Januari 2022.