Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) buka suara terkait deflasi yang terjadi pada Mei 2024. Catatan deflasi tersebut merupakan yang pertama kali sejak Agustus 2023 lalu bagi perekonomian Indonesia. Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey memaparkan, salah satu penyebab terjadinya deflasi adalah masyarakat yang cenderung menahan konsumsi atau belanja. Fenomena ini terutama terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah dan ke atas. “Jadi deflasi tetapi harga naik itu karena ada fenomena restraint mood atau menahan belanja di masyarakat,” ujar Roy di Jakarta pada Senin (3/6/2024).
Roy mengatakan, masyarakat pada tingkat ekonomi menengah mengurangi konsumsinya karena mereka mulai menggunakan dana dari tabungan atau dikenal dengan fenomena makan tabungan (mantab). Roy menuturkan, jumlah masyarakat yang termasuk dalam kategori ini juga terbilang besar, sekitar 115 juta orang. Sementara itu, masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas menahan konsumsi karena faktor ketidakpastian global seperti tensi geopolitik, peperangan, dan lainnya. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk memarkirkan dananya ke instrumen tabungan seperti deposito. “Kalangan masyarakat atas ini jadi pesimis dan memilih untuk menahan belanja. Hal ini bisa terlihat dari jumlah dana pihak ketiga perbankan yang naik sekitar 8%,” kata Roy.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi sebesar 0,03% month-to-month (mtm) yang terjadi pada Mei 2024 merupakan deflasi pertama sejak Agustus 2023 bagi perekonomian Indonesia. Kala itu deflasi mencapai 0,09%. Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, secara historis sejak 2020, khusus periode usai Lebaran, umum terjadi deflasi secara bulanan. Meski demikian, bila membandingkan dengan periode Lebaran sejak 2020, yang terjadi pada Mei ini tidak seberapa dalam jika dibandingkan dengan Juni 2021. “Dalam 5 tahun terakhir, deflasi pasca Lebaran dengan angka terdalam terjadi pada Juni 2021 [lebaran Mei 2021],” ungkapnya.