Badan Pangan Dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat indeks harga pangan dunia terus merosot selama enam bulan berturut-turut hingga September lalu yang mencapai titik terendah sepanjang masa. Merosotnya indeks tersebut selain karena dipicu invasi Rusia ke Ukraina, juga karena kekhawatiran akan cuaca buruk yang melanda beberapa negara produsen. FAO pada pekan lalu menyebutkan indeks harga yang melacak komoditas pangan paling banyak diperdagangkan secara global, rata-rata 136,3 poin pada posisi September 2022 atau turun dibanding posisi Agustus 137,9.
Indeks harga sereal FAO naik 1,5 persen bulan ke bulan pada September, dengan harga gandum naik 2,2 persen karena kekhawatiran atas kondisi panen kering di Argentina dan Amerika Serikat (AS), sementara ekspor Uni Eropa menguat dan meningkatnya ketidakpastian atas akses ke pelabuhan Laut Hitam Ukraina setelah November. Sementara itu, harga beras melonjak 2,2 persen, sebagian karena kekhawatiran atas dampak banjir besar baru-baru ini di Pakistan. Konsumsi sereal dunia pada tahun 2022/2023 diperkirakan akan melampaui produksi sebesar 2,784 miliar ton, yang menyebabkan proyeksi penurunan stok global sebesar 1,6 persen dibandingkan dengan tahun 2021/2022 menjadi 848 juta ton. Kondisi tersebut akan mewakili rasio stok terhadap penggunaan 29,7 persen atau turun dari 31,0 persen pada 2021/2022 tetapi masih relatif tinggi secara historis.
Menanggapi kemerosotan tersebut, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic International Studies (CSIS), Fajar B. Hirawan mengatakan, penjelasan dari indeks tersebut pastinya harus melihat faktor musiman yang memang biasa terjadi di beberapa negara, khususnya Indonesia. “Kita harus tetap waspada terkait krisis pangan ke depannya, khususnya yang diakibatkan oleh perang Rusia-Ukraina serta fenomena El Nino (kekeringan) yang terjadi di wilayah Eropa,” terang Fajar. FAO dan lembaga pangan lainnya harus mengantisipasi krisis pangan sejak dini, khususnya di wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan. Sementara peneliti ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy Manilet mengatakan penurunan indeks pangan menunjukkan masih pentingnya terus melakukan langkah mitigasi. Terutama bagi negara-negara yang menggantungkan beberapa komoditas pangannya dari impor untuk mempersiapkan jika kondisi geopolitik antara Rusia dan Ukraina semakin memburuk.