Dana Moneter Internasional atau IMF mengingatkan negara-negara di kawasan Asia menghadapi prospek “stagflasi” karena dipicu oleh perang di Ukraina setelah Rusia menginvasi negara tersebut, melonjaknya harga-harga komoditas serta melambatnya ekonomi Tiongkok yang menciptakan ketidakpastian cukup signifikan. Stagflasi dalam makroekonomi adalah periode ketika inflasi dan kontraksi terjadi secara bersamaan. Stagflasi ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguran yang tinggi.
Penjabat Senior Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, Anne Marie Gulde Wolf, mengatakan meskipun sektor perdagangan dan keuangan di Asia hanya terpapar secara terbatas dari konflik Rusia dan Ukraina, namun ekonomi di kawasan Asia akan terpengaruh oleh krisis melalui harga-harga komoditas yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih lambat di mitra dagang Eropa. Selain itu, inflasi di Asia juga mulai meningkat pada saat ekonomi Tiongkok melambat yang menambah tekanan pada pertumbuhan regional. Hambatan pertumbuhan ekonomi, datang pada saat ruang kebijakan untuk merespons terbatas. Pembuat kebijakan Asia, kata Wolf, akan menghadapi trade-off yang sulit dalam menanggapi perlambatan pertumbuhan dan kenaikan inflasi.
Wolf mengatakan pengetatan moneter akan dibutuhkan di sebagian besar negara, dengan kecepatan pengetatan tergantung pada perkembangan inflasi domestik dan tekanan eksternal. Kenaikan suku bunga kuat yang diperkirakan Federal Reserve AS juga menghadirkan tantangan bagi pembuat kebijakan Asia mengingat utang dalam mata uang dollar AS yang besar di kawasan itu. Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga dan harga minyak serta meningkatnya inflasi di negara lain harus diwaspadai. Hal ini akan berdampak terhadap melemahnya rupiah ke depan dan menimbulkan kegoncangan sektor riil yang menggunakan bahan baku impor.