Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan dampak kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen. Menurut Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment, Indef, Ahmad Heri Firdaus, kebijakan itu berpotensi menurunkan daya saing Indonesia, terlihat dari ekspor yang menurun. Secara nasional, diperkirakan ekspor akan turun sebesar 1,41 persen. Konsumsi rumah tangga juga diprediksi turun sebesar 0,26 persen. Sedangkan jumlah impor diperkirakan meningkat sebesar 0,85 persen lantaran masyarakat akan memilih kombinasi barang dan jasa yang lebih terjangkau.
Kebijakan PPN diatur dalam Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pasal 7 ayat 1 Undang-undang HPP, tarif PPN naik menjadi 12 persen paling lambat mulai 1 Januari 2025. Ahmad menegaskan kenaikan PPN menjadi 12 persen akan menurunkan performa dari indikator makro ekonomi Indonesia. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi sebesar 0,17 persen. Bila biasanya ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen, kenaikan PPN menjadi 12 persen membuat pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 4,83 persen. Upah riil pun, berpotensi turun sebesar 0,96 persen karena kenaikan harga-harga barang. Inflasi juga diperkirakan melonjak sebesar 0,97 persen. Ahmad menilai biaya investasi juga akan meningkat sebesar 1,25 persen akibat kenaikan tarif PPN ini. Kemudian penyerapan tenaga kerja secara nasional akan turun sebesar 0,94 persen. Imbasnya, neraca perdagangan akan menjadi negatif. Dengan demikian, ia menilai kebijakan kenaikan PPN dalam jangka pendek akan berdampak negatif bagi ekonomi Indonesia. Namun dalam jangka panjang, akan terjadi keseimbangan baru ketika sudah tercapai perubahan harga-harga dan kenaikan upah masyarakat.