Dua asosiasi ritel di Indonesia, Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) dan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) secara kompak menyuarakan keberatan atas keputusan pemerintah menaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Ketua HIPPINDO Budihardjo Iduansjah mengatakan, pihaknya berharap kebijakan ini bisa ditunda oleh pemerintah. Sebab kenaikan PPN akan otomatis berdampak pada kenaikan harga dan membuat daya beli masyarakat menurun.
“Harapan kami sih bisa ditunda dulu (kenaikan PPN) sambil diperbaiki daya saing. Mungkin misalnya naik disitu (PPN) tapi benar inflasinya bisa dijaga. Jadi kantong kiri kanan lah artinya bisa juga mengurangi biaya-biaya lainnya. Jadi sementara ditunda dulu ya kalau bisa sampai bisa disosialisasikan dan didiskusikan lagi lebih lanjut,” jelas Budihardjo saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (26/03). Dampak utama dari kenaikan PPN ungkapnya adalah daya beli masyarakat yang dikhawatirkan makin turun yang tentunya akan berdampak pada perkembangan industri ritel dalam negeri. “Kita paling takutnya di daya beli, jadi orang menahan beli atau mengurangi pengeluarannya. Yang berat kalau terjadi inflasi, takutnya (dampaknya) kesana,” tambahnya.
Di sisi lain, Hippindo ungkap Budi juga telah menawarkan alternatif lain dari sekedar kenaikan PPN. “Kami sebenarnya mengajukan sistem multi tarif, artinya jangan semuanya dihantam sama 12%. Ada yang mungkin di bawah 10, ada yang 11% atau ada yang 12%. Dan menurut kami kalau multi tarif mungkin lebih lebih pas ya, tapi mungkin agak sulit ya dalam pelaksanaannya,” jelas Budi. Penolakan juga muncul dari Ketua APPBI, Alphonzus Widjaja bahkan mengatakan pihaknya berharap pemerintah membatalkan ataupun menunda kenaikan tarif PPN dikarenakan beberapa alasan. “Yang pertama, kenaikan tarif PPN akan mengakibatkan kenaikan harga produk atau barang yang mana akan memberatkan masyarakat terutama untuk kelas menengah bawah,” ungkapnya. Alasan kedua karena saat ini tarif PPN yang berlaku adalah termasuk kategori tidak rendah jika dibandingkan dengan tarif yang berlaku di beberapa negara tetangga sehingga sebenarnya tidak ada alasan mendesak untuk menaikkannya.