Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp 588 triliun untuk hilirisasi sumber daya mineral nikel, bauksit, dan tembaga. Agar tertarik menanamkan modalnya dalam pembangunan smelter, investor membutuhkan jaminan bahan baku. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Haykel Hubeis menilai, kebutuhan investasi untuk hilirisasi tersebut tergolong wajar dan masuk akal. Angka investasi itu sudah mencakup mesin dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan serta potensi nilai tambah (mineral). Adapun mayoritas investasi berasal dari asing. Oleh sebab itu, Haykel menggarisbawahi pentingnya jaminan dan kepastian pasokan bahan baku untuk proses pengolahan dan hilirisasi sebagai magnet bagi investor asing agar berminat menanamkan modalnya untuk membangun smelter. Saat ini, aliran pasokan bahan baku dari pemain tambang dapat terkendala lantaran faktor perizinan.
Di sisi lain, proses pengolahan dalam smelter tidak dapat terhenti. Apabila terhenti, perusahaan mesti menanggung rugi. Secara umum, investor juga mesti mempertimbangkan neraca bahan baku mineral untuk memperhitungkan modal menjalankan smelter minimal sekitar 20 tahun. Haykel berharap, Kementerian Perindustrian mendata smelter yang saat ini mengalami kekurangan bahan baku, sedang bernegosiasi dengan pelaku tambang, hingga yang berhenti berproduksi. Agar dapat menarik minat investor, perlu ada inovasi kebijakan dari Kementerian Perindustrian yang mempermudah, memperlancar, dan mempercepat izin prainvestasi, konstruksi, produksi, dan penjualan hasil olahan smelter. Kebijakan ini pun melibatkan kementerian/lembaga lain, tutumya.