Pemerintah dianggap semakin kesulitan mengontrol harga minyak goreng meski sudah mengeluarkan regulasi. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menilai mekanisme pasar produk turunan sawit belum berjalan baik. Padahal Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Saat harga crude palm oil (CPO) naik, harga minyak goreng melejit, tetapi saat harga CPO turun, harga minyak goreng tidak ikut turun. Gagal menjaga harga menandakan pasar tak bisa dikendalikan pemerintah, padahal komoditas ini merupakan kebutuhan pokok. Indef mendesak pemerintah mengevaluasi tata niaga minyak goreng.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mempertanyakan perubahan kebijakan yang serba cepat. Menurut nya, sudah ada sembilan regulasi yang muncul sejak Desember 2021 hingga bulan ini. Regulasi minyak goreng terus berubah formula. Pada akhir 2021, pemerintah berniat menyediakan 11 juta liter minyak goreng seharga Rp 14 ribu per liter untuk masyarakat selama enam bulan. Namun hanya 5 juta liter yang bisa disiapkan secara sukarela oleh pengusaha. Pada awal 2022, pemerintah mengumumkan penyiapan subsidi sebesar Rp 3,6 triliun untuk 1,2 miliar liter minyak goreng. Subsidi yang diambil dari pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu kemudian dibesarkan hingga Rp 7,6 triliun, setara dengan pemenuhan 1,5 miliar liter minyak goreng. Kebijakan minyak goreng satu harga, yaitu Rp 14 ribu per liter, akhirnya dimulai pada 19 Januari 2022. Pada 1 Februari lalu, pemerintah mematok harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, serta kemasan premium Rp 14 ribu per liter. Pada Selasa lalu (15/3), Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mencabut HET minyak goreng kemasan dan mengembalikannya ke harga keekonomian, sedangkan minyak goreng curah mendapat subsidi.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menganggap disparitas harga dipicu masalah saat distribusi. Eddy mengklaim para eksportir CPO sudah memenuhi kewajiban DMO atau memasok bahan baku dengan harga murah kepada produsen minyak goreng domestik. Artinya, stok tidak menjadi persoalan, melainkan tertahan di pengedar. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Ukay Karyadi, menyarankan perbaikan tata niaga di hulu industri minyak goreng atau di lingkungan perkebunan sawit. Pemerintah diminta mempertimbangkan pembatasan skala kelompok usaha. Alokasi lahan semakin terkonsentrasi pada kelompok-kelompok pengusaha besar yang memiliki industri turunan produk sawit. Sementara itu, pemerintah sibuk menjernihkan masalah di muaranya.