Harga Obat Mahal, Indonesia Harus Kembangkan Herbal

Pemerintah dinilai perlu lebih banyak keterlibatan dalam mendorong industri farmasi nasional, termasuk pengembangan fitofarma guna mengoptimalisasi sumber bahan baku obat herbal dalam negeri. Hal ini diungkapkan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Bambang Brodjonegoro, sekaligus mantan Menteri Keuangan periode 2014-206. Dia juga memberikan pendapat terkait kondisi harga obat dalam negeri yang disebut lebih mahal dari negara tetangga. Pemerintah dapat terjun langsung mengatur pengendalian harga obat di pasar melalui sejumlah cara, seperti menambah kompetitor baru untuk setiap obat generik di pasar. “Dengan dua cara, pertama dengan menghadirkan pesaing untuk setiap jenis obat generik meski sama-sama impor,” kata Bambang. Harga obat dapat ditekan dengan melakukan importasi obat non generik tidak langsung dari pabrik utamanya di AS atau Eropa, tetapi dari assembly seperti di India. Di sisi lain, untuk bisa dapat lepas dari ketergantungan impor, Indonesia memiliki sejumlah pekerjaan rumah seperti kombinasi fitofarmaka basis herbal dengan investasi industri turunan petrokimia untuk bahan baku obat. “Perlu sekali menambah anggaran R&D [Research and Development] dan mendorong swasta memanfaatkan R&D tax deduction dalam mengembangkan obat berbahan herbal,” tuturnya. Dia menekankan potensi industri fitofarmaka yang juga membutuhkan dukungan untuk clinical trial karena terbilang rumit dan mahal. “R&D untuk fitofarmaka dengan memanfaatkan bahan herbal di Indonesia memang mahal dan harus ditunjang insentif tax deduction dan dukungan clinical trial,” jelasnya. Bambang menilai industri farmasi nasional belum dapat bangkit dan berkembang lantaran tidak masifnya pengembangan industri turunan petrokimia, khsususnya untuk bahan baku obat, tidak dimasukkannya obat berbahan baku lokal dalam list BPJS, serta pelemahan nilai tukar yang sudah setahun lebih.

Search