Berdasarkan laman Bloomberg, harga minyak mentah jenis Brent kembali naik ke level 89 dollar AS per barel setelah beberapa pekan terakhir bertahan di kisaran 85 dollar AS per barel. Kenaikan harga dipicu, salah satunya, oleh rencana anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC untuk memotong produksi minyak hingga 1 juta barel per hari.
Sejumlah analisis memperkirakan pertemuan itu akan membahas rencana pemotongan produksi minyak hingga 1 juta barel per hari mulai November 2022.Menurut Craig Erlam, analis di platform perdagangan OANDA, ada sinyal pemotongan prod uksi minyak yang lebih besar dalam waktu dekat.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, berpendapat, sektor hulu dan hilir dipastikan terdampak dengan fluktuatifhya harga minyak mentah dunia. Ketika harga minyak turun, akan berpengaruh terhadap kinerja dan optimalisasi produksi migas sehingga pengusaha akan berhitung ulang tentang nilai keekonomian. Jika kurang ekonomis, mereka akan mengurangi kegiatan produksi yang bisa berdampak terhadap lifting migas nasional. Jika harga cukup tinggi, mereka akan semangat mengoptimalkan produksi migas nasional.
Dari sisi hilir, fluktuasi harga minyak mentah berdampak terhadap harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM). Untuk BBM bersubsidi, yakni pertalite dan biosolar, kenaikan harga minyak mentah berpotensi menyebabkan anggaran subsidi dan kompensasi energi membengkak. Untuk BBM non-subsidi, situasi naik turunnya harga minyak mentah seperti sekarang akan mendorong fluktuasi harga jual eceran BBM makin sering terjadi. Dengan demikian, masyarakat perlu terbiasa dengan naik turunnya harga BBM non-subsidi di masa mendatang. Menurut Mamit, dengan situasi semacam ini, salah satu opsi yang bisa dicoba Indonesia adalah menyiapkan skema petroleum fund yang dananya berasal dari kegiatan hulu migas. Dana ini disimpan sebagai dana cadangan atau bantalan jika tiba-tiba terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia sehingga penyesuaian harga tidak memberatkan masyarakat.