Para pelaku industri menolak keras rencana PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) atau PGN yang disebut akan melakukan penyesuaian harga jual gas kepada pelanggan komersial dan industri di luar penerima harga gas bumi tertentu (HGBT) per 1 Oktober 2023. Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), Yustinus Gunawan, mengatakan pertumbuhan industri kaca akan terhambat jika rencana kenaikan harga gas industri direalisasikan. “Industri kaca minta PGN menunda kenaikan sampai diterbitkannya regulasi HGBT sebagai penguatan dari Perpres 121/2020 tentang HGBT,” kata Yustinus. Dia pun mengungkap bahwa tidak hanya industri kaca, para pelaku industri lainnya pun menentang keras rencana kenaikan harga gas non-HGBT oleh PGN, per 1 Okt 2023. Di samping itu, dia pun menagih usulan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan yang berencana untuk menghentikan ekspor gas dalam rangka mendukung industri dalam negeri, sekaligus menurunkan harga gas ke level US$5 per MMBtu. “Ternyata, wacana setop ekspor gas dan turunkan harga gas untuk industri adalah salah satu persiapan transformasi ekonomi,” ujarnya. Lebih lanjut, Yustinus mengungkap bahwa pihaknya kini tengah mencoba meningkatkan volume ekspor yang per Juni 2023 mencapai nilai ekspor US$27,2 juta. Namun upaya tersebut akan terhadang rencana kenaikan harga gas industri. “Harga gas naik maka akan terjadi deindustrialisasi, terjadi penurunan serapan tenaga kerja,” pungkasnya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto, mengatakan kenaikan HGBT dari US$6 per MMbtu menjadi US$6,5 per MMbtu sejak Juni 2023 semestinya diiringi dengan kelancaran supply gas serta pemenuhan 100 persen volume alokasi gas. Hal tersebut perlu dilakukan sebagaimana telah tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 91/2023 Tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan HGBT di Bidang Industri. “Rencana kenaikan harga gas tersebut sangat berpengaruh dan memberikan dampak negatif terhadap daya saing industri keramik karena komponen biaya pemakaian gas berkisar 30 persen dari total biaya produksi keramik,” kata Edy, dihubungi terpisah. Terlebih, dia menerangkan bahwa industri keramik sejak 2022 belum menerima penuh manfaat kebijakan HGBT US$6 per MMbtu, khususnya bagi pelaku usaha industri keramik di Jawa Timur. Padahal area Jawa Timur mendapatkan Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) sebesar 65 persen, tetapi pemakaiannya dikenakan harga gas normal yakni US$7,98 per MMbtu. Sementara itu, industri keramik yang berada di Jawa Barat mulai pertengahan 2022 dikenakan AGIT 85-90 persen, di atas itu dikenakan harga gas US$9,12 per MMbtu. “Bahkan, per 1 Okt 2023 pemakaian di atas AGIT Jawa Barat akan dikenai harga gas US$11,9 per MMbtu,” ujarnya. Menurutnya, Kebijakan AGIT yang berlaku saat ini juga dirasa tidak adil karena esaran persentase AGIT tidak disosialisasikan di awal sebelum pemakaian gas bulan berjalan melainkan baru diberi tahu besarannya setelah terjadi pemakaian.