Serikat Petani Indonesia (SPI) mengatakan situasi kenaikan harga gabah/beras saat ini memang dirasakan oleh para petani, namun hal ini terjadi juga akibat kenaikan biaya produksi yang dikeluarkan petani akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Ketua SPI Henry Saragih mengatakan, terkait biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani, jelas terdampak akibat kenaikan harga BBM. Hal ini terutama mempengaruhi komponen-komponen yang menggunakan tenaga mesin maupun transportasi, seperti biaya traktor, pengairan, sampai biaya pemanenan. “Begitu juga ke kenaikan biaya-biaya input produksi yang umumnya digunakan petani seperti fungisida, insektisida, pupuk,” ujar Henry, Rabu (5/10/2022).
Henry menyampaikan kenaikan harga gabah dan beras yang begitu cepat tersebut diperkirakan karena cadangan beras mulai menipis, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang kendati mengalami kenaikan tetapi tidak secepat ini. Dia membeberkan catatan terkait kenaikan tersebut antara lain dikarenakan stok gabah dan beras yang terbatas, karena minimnya produksi padi. Badan Pangan Nasional atau NFA mendata cadangan beras pemerintah atau CBP saat ini hanya mencapai 861. 966 ton, lebih rendah dari kondisi normal sebanyak 1,2 juta ton – 1,5 juta ton.
Selain itu, Henry menuturkan faktor lainnya yang turut berpengaruh adalah musim tanam antar wilayah yang tidak bersamaan. Sementara itu, terkait produktivitas petani, menurut Henry pada dasarnya kondisinya bervariasi. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai Tukar Petani (NTP) Tanaman Pangan pada September 2022 mengalami kenaikan, sebesar 1,49 persen menjadi 99,35. Meskipun mengalami kenaikan dalam 2 bulan terakhir, namun NTP Tanaman Pangan September 2022 masih di bawah standar impas (100). Nilai NTP Tanaman Pangan berada di bawah standar impas sejak Maret 2022. Dari data BPS tersebut juga dapat dilihat bahwa untuk subsektor NTP Tanaman Pangan terjadi kenaikan indeks lb (indeks biaya yang dikeluarkan oleh petani) sebesar 0,95 persen, yakni biaya konsumsi rumah tangga (0,95 persen) dan biaya produksi modal (0,96 persen).