Kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja. Stagflasi, yakni inflasi tinggi, tetapi pertumbuhan ekonomi rendah, mengancam. Inflasi Amerika Serikat (AS) terus menanjak membuat bank sentral AS, The Federal Reserve, menaikkan suku bunga acuan. Pada akhir Juli 2022, suku bunga acuan naik 75 basis poin atau 0,75 persen ke kisaran 2,25-2,5 persen.
Langkah itu ditempuh The Fed untuk mendinginkan perekonomian AS yang cenderung panas. Salah satu indikatornya adalah inflasi tahunan yang per Juni 2022 sebesar 9,1 persen. Angka inflasi itu merupakan yang tertinggi sejak November 1981. Inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa secara umum di tingkat konsumen di AS itu dipicu kenaikan harga energi dan pangan. Menurut data Trading Economics, harga energi di AS melonjak 41,6 persen atau yang tertinggi sejak Maret 1980. Adapun harga pangan melonjak 10,4 persen atau tertinggi sejak Februari 1981.
Situasi ini menimbulkan risiko bagi Indonesia dan negara-negara berkembang berupa pembalikan dana di pasar keuangan. Investor asing dikhawatirkan menarik dana mereka dari negara-negara berkembang, kemudian menempatkan dana mereka di instrumen safe haven yang dinilai lebih aman, berupa dollar AS. Cadangan devisa juga bisa berkurang.
Risiko lain, langkah The Fed dapat memicu kenaikan biaya dana berupa peningkatan suku bunga pinjaman dollar AS negara-negara, termasuk Indonesia. Kita meyakini, pemerintah dan Bank Indonesia punya beragam resep jitu untuk menghalau risiko dan mengantisipasi dampak negatif dari langkah The Fed ke Indonesia.