Presiden Prabowo Subianto telah resmi menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024 tentang rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025. Di dalamnya termuat desain penarikan utang baru untuk menutup defisit APBN 2025 yang senilai Rp 616,18 triliun. Dalam Lampiran VII Perpres 201/2024 penarikan utang atau besaran pembiayaan utang Prabowo tetapkan senilai sebesar Rp 775,86 triliun pada 2025. Nilai itu naik sekitar 19,71% dibandingkan dengan target tahun 2024 yang sebesar Rp 648,1 triliun. Dalam lampiran itu, Prabowo merincikan pembiayaan utang terdiri dari penerbitan SBN neto sebesar Rp 642,56 triliun. Nilai itu cenderung lebih rendah dibandingkan target penerbitan SBN pada 2024 sebesar Rp 666,4 triliun. Selain SBN, pembiayaan utang juga berasal dari Pinjaman neto yang senilai Rp 133,3 triliun, naik dari target 2024 senilai Rp 18,4 triliun.
Pinjaman itu terdiri dari Pinjaman Dalam Negeri (Bruto) sebesar Rp 11,77 triliun, yang digunakan untuk pembayaran cicilan pokok sebesar Rp 6,6 miliar, dan yang digunakan hanya senilai Rp 5,17 triliun. Lalu, Pinjaman Luar Negeri (Neto) Rp 128,13 triliun. Terdiri dari Pinjaman Tunai Rp 80 triliun, Pinjaman Kegiatan Rp 125,52 triliun untuk kementerian/lembaga (K/L) pusat, Rp 1,59 triliun untuk kegiatan yang diteruskan dalam bentuk hibah, dan Pinjaman ke BUMN/Pemda: Rp 9,3 triliun. Total ini dikurangi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 88,36 triliun. Total pembiayaan utang pun juga akan dikurangi untuk keperluan pembiayaan investasi senilai Rp 154,50 triliun, dan pemberian pinjaman senilai Rp 5,44 triliun. Namun, ada tambahan dari pembiayaan lainnya berupa hasil pengelolaan aset senilai Rp 262 miliar.