Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan pengusutan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe dimulai dari laporan masyarakat. Mereka mengeluhkan kesejahteraan di Bumi Cenderawasih kecil padahal dana otonomi khusus (otsus) dari pemerintah pusat besar. KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat itu. Berdasarkan infromasi yang dihimpun, banyak pejabat di Papua menggunakan dana dari pemerintah pusat untuk berpesta pora. Parahnya lagi, para pejabat dan elit di Papua memainkan isu untuk membenarkan pencurian uang negara itu. Bahkan, mereka membawa nama rakyat untuk melancarkan permainan kotornya. Masyarakat diminta tidak terpengaruh dengan bujuk rayu para pejabat kotor di sana. Karena, mereka cuma memanfaatkan suara masyarakat untuk bebas dari jeratan hukum. Firli juga menegaskan pihaknya bisa membuktikan bahwa dana dari pemerintah pusat telah dicuri oleh pejabat di Papua. Buktinya, tidak ada pembangunan yang tercipta padahal sudah disuntik dengan duit yang banyak.
Lukas terjerat kasus dugaan suap dan gratifikasi. Kasus yang menjerat Lukas itu bermula ketika Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mengikutsertakan perusahaannya untuk mengikuti beberapa proyek pengadaan infrastruktur di Papua pada 2019 sampai dengan 2021. Padahal, korporasi itu bergerak di bidang farmasi. KPK menduga Rijatono bisa mendapatkan proyek karena sudah melobi beberapa pejabat dan Lukas Enembe sebelum proses pelelangan dimulai. Komunikasi itu diyakini dibarengi pemberian suap. Kesepakatan dalam kongkalikong Rijatono, Lukas, dan pejabat di Papua lainnya yakni pemberian fee 14 persen dari nilai kontrak. Fee harus bersih dari pengurangan pajak. Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono atas pemufakatan jahat itu. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar. Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar. Lukas diduga mengantongi Rp1 miliar dari Rijatono. KPK juga menduga Lukas menerima duit haram dari pihak lain.
Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi