Harga pangan dunia mencapai rekor tertinggi pada Februari 2022 dengan kenaikan tahunan mencapai 20,7 persen. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengungkapkan lonjakan harga dipicu oleh minyak nabati dan produk susu. Indeks harga pangan FAO, yang melacak komoditas pangan yang paling banyak diperdagangkan secara global, rata-rata 140,7 poin bulan lalu atau turun dari revisi Januari 2022, 135,4.
Ekonom FAO Upali Galketi Aratchilage mengatakan kekhawatiran atas kondisi panen dan ketersediaan ekspor hanya menjelaskan sebagian kenaikan harga pangan global. “Dorongan inflasi harga pangan yang jauh lebih besar berasal dari luar produksi pangan, khususnya sektor energi, pupuk, dan pakan,” kata Aratchilage seperti dikutip Reuters, Sabtu (5/6). Kondisi itu, lanjut Aratchilage, membuat margin keuntungan produsen makanan mengecil sehingga mereka enggan meningkatkan produksi.
Badan pangan di bawah PBB itu mencatat indeks minyak nabati naik 8,5 persen secara bulan pada Februari lalu. Hal itu didorong oleh kenaikan harga minyak sawit, kedelai, dan bunga matahari. Ukraina dan Rusia menyumbang sekitar 80 persen dari ekspor global minyak bunga matahari. Indeks harga sereal naik 3,0 persen dengan harga jagung menanjak 5,1 persen dan harga gandum meningkat 2,1 persen, sebagian besar mencerminkan ketidakpastian tentang aliran pasokan global dari pelabuhan Laut Hitam. Indeks harga susu FAO meningkat 6,4 persen, kenaikan bulanan keenam berturut-turut, didukung oleh pasokan global yang ketat, sementara harga daging naik 1,1 persen pada Februari. Gula adalah satu-satunya indeks yang mencatat penurunan 1,9 persen dari bulan sebelumnya. Penurunan didorong oleh prospek produksi yang menguntungkan di eksportir utama India dan Thailand.
FAO juga mengeluarkan proyeksi pertamanya untuk produksi sereal pada 2022, melihat produksi gandum global meningkat menjadi 790 juta ton dari 775,4 juta pada tahun 2021, sebagian berkat harapan hasil tinggi dan penanaman ekstensif di Kanada, Amerika Serikat dan Asia. Kendati demikian, FAO memperingatkan proyeksinya tidak memperhitungkan kemungkinan dampak konflik antara Rusia dan Ukraina.