Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menyebut China mendapat keuntungan besar dari kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. Persentasenya mencapai 90 persen dari total keuntungan. Dalam Kajian Tengah Tahun INDEF bertemakan Menolak Kutukan Deindustrialisasi, Faisal mengungkapkan nasib industri di Indonesia. Menurutnya, Indonesia sudah tidak jadi negara agraris. Namun, Indonesia juga tak kunjung menjadi negara industri. “Ada missing link dalam transformasi atau pola yang dialami Indonesia. Dari agraris, langsung ke jasa.
Lebih dari satu dasawarsa lalu, Indonesia menjelma sebagai negara jasa,” katanya di Jakarta, Selasa (8/8). “Sayangnya, tidak ada kebijakan industrialisasi. Yang ada kebijakan hilirisasi,” imbuhnya. Menurutnya, kebijakan industrialisasi akan menguatkan struktur perekonomian karena memberi nilai tambah. Sementara, kebijakan hilirisasi seperti hilirisasi nikel hanya menguntungkan negara lain. Salah satunya, China yang memiliki smelter nikel di RI.
Faisal mengungkapkan 90 persen keuntungan dari kebijakan hilirisasi nikel dinikmati oleh China. Sementara Indonesia hanya mendapatkan 10 persen dari keseluruhan keuntungan dari kebijakan tersebut.