Pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, pilihan kebijakan sistem pemilu, perlu dibahas lebih lanjut dengan diskusi yang lebih tenang dan ideal. Charles mengakui, evaluasi terhadap pelaksanaan sistem pemilu proporsional terbuka memang perlu dilakukan, tetapi dilakukan setelah pemilu 2024 selesai dilaksanakan, serta dilakukan dalam proses legislasi yang memperhatikan partisipasi publik yang bermakna. Untuk saat ini, biarkan KPU dan Bawaslu fokus dulu mempersiapkan infrastruktur pemilu dengan regulasi yang sudah ada. Hal ini dikatakan Charles saat menyampaikan keterangan ahli di persidangan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya terkait sistem pemilu, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), di Jakarta, Selasa (9/5/2023).
Charles juga meminta MK dalam putusan terkait perkara pengujian sistem pemilu yang tengah berlangsung saat ini dapat memberi panduan prinsipil terhadap prinsip konstitusional. Sementara itu, peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Firman Noor, mengungkap beberapa prinsip mengenai sistem pemilu yang demokratis. Salah satu di antaranya memberikan pilihan terbaik bagi rakyat di mana pilihan-pilihan tersebut dipaparkan dengan kelengkapan informasi yang seluas-luasnya. Salah satu kritik utama terhadap sistem proporsional tertutup adalah terkait tingkat keterwakilan. Sistem tersebut kurang menjamin terbangunnya kedekatan antara caleg dengan konstituennya. Sistem proporsional tertutup tidak menjamin konstituen mengetahui latar belakang dan kapabilitas caleg yang akan mewakili.
Meskipun saat ini demokrasi di Indonesia belum sempurna, menurut Firman, sistem proporsional terbuka masih bisa diharapkan untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih mewakili rakyat. Firman juga mencatat, sistem proporsional terbuka lebih banyak digunakan di pemerintahan-pemerintahan yang paling demokratis. Mengutip catatan Economist Intelegent Unit Tahun 2022, dari 10 negara paling demokratis di dunia, enam di antaranya menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka.