Konsep smart farming, yang menggabungkan teknologi seperti Internet of Things (IoT), Global Positioning System (GPS), drone, dan teknologi lainnya dalam sistem pertanian, semakin menarik perhatian masyarakat. Bahkan penerapan sistem smart farming juga telah masuk ke dalam rencana strategis pemerintah selama 2020-2024. Seiring dengan itu, sektor pertanian menghadapi tantangan kompleks, termasuk produktivitas rendah, infrastruktur yang kurang memadai, dan dampak perubahan iklim. Fluktuasi pasokan dan permintaan antar wilayah, dominasi petani kecil, serta masalah regenerasi petani dan limbah pangan juga menjadi perhatian utama. Dampaknya, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional mengalami penurunan signifikan, mencapai 12,4% pada tahun 2022. Pada titik ini, solusi inovatif seperti smart farming dianggap mampu menguatkan sektor pertanian dan menciptakan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan. Bahkan saat ini, banyak perusahaan rintisan (start-up) yang turut serta dalam menerapkan Smart Farming sebagai bagian dari model bisnis mereka. Sebagai contoh, INDICO, anak perusahaan Telkomsel yang berfokus pada pengembangan ekosistem digital melalui Digital Food Ecosystem (DFE), platform di sektor pertanian.
Berbagi pandangan terkait smart farming, Tomy Perdana, Direktur Inovasi dan Korporasi Universitas Padjajaran sekaligus Guru Besar Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran justru melihat bahwa penerapan teknologi di sektor pertanian baru menjadi langkah awal. Smart farming merupakan langkah awal yang penting, namun solusi untuk ketahanan pangan memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Dengan memfokuskan pada pengembangan ekosistem digital pangan dari hulu ke hilir, dapat diciptakan solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan bagi ketahanan pangan. Teknologi digital dapat dioptimalkan untuk meningkatkan efisiensi produksi, distribusi, dan aksesibilitas pertanian serta pangan secara lebih efisien dan berkelanjutan.