Direktur Kebijakan Internasional Bank Indonesia (BI), yang juga menjadi perwakilan BI dalam Presidency Chair Sustainable Finance Working Group (SFWG) G20, Haris Munandar, menekankan perubahan iklim berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Terhentinya aktivitas ekonomi riil akibat bencana ekologis berpengaruh negatif pada pasar keuangan. Perubahan iklim harus disikapi secara holistik. Semua pihak memiliki peran untuk melakukan langkah preventif, termasuk bank sentral karena perubahan iklim berkorelasi dengan tingkat inflasi yang menjadi ranah tugas bank sentral.
BI telah mengeluarkan kebijakan makroprudensial pada akhir 2019 berupa relaksasi rasio pinjaman terhadap aset (Loan to Value/LTV) dalam penyaluran kredit properti. Tambahan relaksasi LTV sebesar 5 persen diberikan pada properti berwawasan lingkungan. BI juga telah menetapkan kebijakan ekonomi-keuangan yang inklusif dan hijau sebagai salah satu dari lima bauran kebijakan utama disamping kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, dan pendalaman pasar uang.
Dari sisi fiskal, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Dian Lestari mengatakan, pemerintah memberikan insentif perpajakan atau tax holiday untuk pelaku industri yang mendukung transisi energi dan fasilitas pembebasan bea masuk untuk berbagai barang dan produk yang ditujukan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan.
Upaya itu sejalan dengan kesepakatan Indonesia dalam Perjanjian Paris di tahun 2015 terkait Nationally Determined Contributions (NDC) yang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional di 2030. Meskipun demikian APBN hanya bisa mencukupi 30 persen dari total pendanaan yang dibutuhkan untuk mencapai komitmen pengurangan 29 persen emisi pada tahun 2030. Oleh karena itu, keterlibatan lembaga pembiayaan dan sektor swasta sangat dibutuhkan.