Bank Indonesia (BI) menyatakan ketidakseimbangan ekonomi global berlanjut pada 2022 akibat perbedaan kemampuan negara-negara untuk pulih dari Covid-19. Kondisi tersebut kembali mendapat tantangan setelah Rusia memerangi Ukraina yang menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi global. Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan pada 2021, ekonomi dunia tumbuh tidak seimbang, meskipun meningkat relatif tinggi yaitu 5,7 persen. Pola pertumbuhan ekonomi dunia yang tak seimbang terjadi lantaran negara maju bisa tumbuh lebih cepat, sebaliknya negara berkembang lebih lambat. Ekonomi global yang tinggi, bertumbuh hanya pada dua negara besar yaitu Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Perry menyebut, negara maju bisa melakukan vaksinasi secara cepat, menggelontorkan stimulus fiskal dan moneter secara besar-besaran. Sedangkan di negara-negara berkembang, kemampuannya dalam menangani krisis relatif terbatas. Kebanyakan negara berkembang sangat terbatas kemampuannya membeli vaksin dan menggelontorkan stimulus fiskal dan moneter. Selain itu, banyak negara berkembang terutama di Afrika terbebani oleh utang. Ketidakseimbangan global usai pandemi itulah yang menjadi dasar tema Presidensi G20 di Indonesia, yakni pulih lebih kuat dan pulih bersama.
Perang Rusia dan Ukraina menyebabkan banyak negara mengalibrasi ulang kebijakan untuk merespons penurunan pertumbuhan ekonomi global. Sebelumnya, BI telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 4,4 persen menjadi 4,2 persen akibat konflik yang masih terus terjadi antara Rusia dan Ukraina. Bahkan jika berlanjut terus, bisa turun ke level 3,8 persen. Eskalasi ketegangan geopolitik yang diikuti dengan pengenaan sanksi berbagai negara terhadap Rusia mempengaruhi transaksi perdagangan, pergerakan harga komoditas, dan pasar keuangan global, di tengah mulai meredanya penyebaran Covid-19. Pertumbuhan beberapa negara ekonomi utama dunia, seperti Eropa, Amerika Serikat (AS), Jepang, Tiongkok, dan India pun berpotensi lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Bagitu pula dengan volume perdagangan dunia juga berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sejalan dengan risiko tertahannya perbaikan perekonomian global dan gangguan rantai pasokan yang masih berlangsung.