Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengkritik kesepakatan pensiun dini PLTU Cirebon-1 dalam program Energy Transition Mechanism (ETM). Dana US$250 juta sampai US$300 juta atau setara Rp4,7 triliun (asumsi kurs Rp15.692 per dolar AS) dianggap terlalu jumbo. Masa operasional PLTU Cirebon-1 bahkan dihitung 40 sampai 50 tahun. Menurut Bhima, rata-rata masa operasional PLTU adalah 25 sampai 30 tahun, karena setelah itu sudah tergolong aset yang nilainya menurun (stranded asset).
Lebih lanjut ia menyoroti injeksi dana ke PLTU terkait kontrak jual-beli Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ia mempertanyakan apakah konsep pensiun dini PLTU, terutama PLTU Cirebon-1, merupakan ganti rugi independent power producer (IPP) atau membantu keuangan PLN. Bhima berharap dana transisi energi tidak menjadi upaya bailout atas kesalahan oversupply listrik PLN, sehingga pensiun dini PLTU hanya ditujukan pada pembangkit yang menjadi penyebab oversupply listrik Jawa-Bali.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan rencana pensiun PLTU dengan kapasitas hingga 15 gigawatt (GW). Langkah tersebut dilakukan sebagai komitmen untuk mengurangi emisi karbon dalam negeri. Komitmen nyata pensiun dini ini akan dimulai dari PLTU Cirebon-1 yang ada di Jawa Barat dengan kapasitas 660 megawatt (MW). Dalam hal ini, PT PLN (Persero) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk mulai membahas pensiun dini tersebut.