Selama 2019-2024, dalam fungsi legislasi, tak kurang dari 130 rancangan undang-undang telah selesai dibahas DPR bersama pemerintah. Produk-produk legislasi yang sesuai dengan aspirasi rakyat berdampak pada citra positif DPR, yang mencapai 62,6 persen (survei pada Juni 2024). Respons positif ini erat kaitannya dengan pembahasan RUU KIA akhirnya disahkan pada 4 Juni 2024. Tetapi tak jarang, produk legislasi yang dihasilkan tak sejalan dengan keinginan publik, antara lain RUU Cipta Kerja dan RUU Mahkamah Konstitusi menuai unjuk rasa. DPR membatalkan pengesahan RUU Pilkada karena muncul gelombang unjuk rasa di berbagai daerah.
Ketua Banggar DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Said Abdullah mengatakan, peran Banggar DPR sangat vital dalam mengawal politik anggaran untuk masyarakat. Namun, ada keterbatasan dari sisi kewenangan DPR untuk mengawasi anggaran negara, karena kewenangan DPR dalam membahas Rancangan APBN hanya sampai pada tingkat program. Dalam fungsi pengawasan, Wakil Ketua Banggar DPR Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan DPR telah membentuk Panitia Khusus Haji. Namun, ia menilai fungsi pengawasan tersebut cenderung tidak dihormati oleh Menteri Agama.
Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi menilai, fungsi legislasi dan pengawasan DPR periode 2019-2024 cenderung lemah. DPR tidak konsisten untuk terus menyuarakan kepentingan rakyat. IPC mencatat, hanya separuh aspirasi dari rakyat yang diserap oleh DPR. Selama lima tahun, DPR tidak mampu membangun keseimbangan sebagai pihak yang mestinya mengoreksi kebijakan pemerintah. DPR justru sering mengikuti kemauan pemerintah dan cenderung menjadi “stempel” kebijakan yang diusulkan pemerintah. dalam fungsi anggaran, DPR mestinya mempertanyakan kebutuhan anggaran dari tiga kementerian/lembaga dengan porsi anggaran terbesar, yaitu Kemenhan, Kementerian PUPR, serta Polri. Hanafi berharap ada perbaikan yang dilakukan oleh DPR periode 2024-2029 mendatang.